Survey ke Ciangkrek

 

Survey Lokasi SMPN 5 Simpenan, 25 Maret 2018

Melacak Alamat Sekolah

Awalnya hanya mendengar dari sahabat bahwa penempatan Kepala Sekolah aku di SMPN 5 Simpenan Satu Atap.

Sejak mendengar nama sekolah ini diam diam aku cari dan googling dimana sih sekolah itu. Terjawab juga dimana letaknya, siapa kepseknya, berapa jumlah peserta didiknya, yang mengajar berapa orang jumlahhya karena yang muncul jawaban Google adalah alamat dapodik sekolah. Setelah terlihat pada gambar dan merupakan foto satelit di google earth, maka aku rencanakan untuk mengunjungi sekolah itu.



Gambar Sekolah pada Dapodik

Terbayang seperti apa nanti aku bertugas nun jauh di sana, di tengah foto penuh kehijau hijauan hanya sedikit foto berwarna coklat, artinya tempat itu berada di tengah hutan atau ladang yang luas. Cukup berdebar dan berfikir bagaimanakah bisa sampai di sana. Tetapi ada yang menarik yang aku lihat dari foto satelit, letak sekolah itu terletak di atas huruf dal (Arab) dari kata ﻣﺤﻣﺪ (Muhammad), padahal tulisan kata Muhammad itu di perkampungan Ciangrek adalah merupakan gambar jalan yang dibuat oleh Google yang kebetulan membentuk mirip kata Muhammad.



Gambar jalan mirip kata muhammad

Satu kata itulah yang menjadi salah satu motivasi dan keyakinan bahwa ada sesuatu yang istimewa di daerah di mana SMPN 5 Simpanen Satu Atap berada. Untuk sampai di tempat ini saya pernah bertanya kepada salah seorang teman yang bertugas di daerah Simpenan, bagaimana bisa sampai di sini. Beliau memberitahu bahwa jika mau sampai ke sekolah dengan kendaraan bisa lewat Joglo (adalah nama tempat yang berada di wilayah Kecamatan Lengkong), jika lewat Bagbagan mobil tidak bisa lewat katanya. Asyiik dalam hatiku berarti bisa pakai kendaraan nyampai sekolah.

Sampailah pada satu waktu yang kebetulan saat itu tidak turun hujan karena di hari hari biasa sering turun hujan, hari itu adalah hari Minggu tanggal 25 Maret 2018. Aku berangkat menelusiri perjalanan mulus dari Kadudampit mulai berangkat dari rumah pukul 5 bada shubuh dan setelah sampai di Cikiray sarapan bubur dulu. Setelah 15 menit selesai lanjut lagi perjalanan melalui jalan Cikiray kemudian masuk ke wilayah Gunungguruh melalui jalan yang dikenal dengan daerah pabrik hasil kerajinan tanah liat seperti genting dan batu bata yaitu daerah Lio. Jalannya sudah dihotmik tapi ada juga yang sudah mulai rusak sehingga terdapat lubang lubang kecil yang berair. Lanjut perjalanan dengan kecepatan 40-50 Km/jam sampailah di Kecamatan Baros dan lewat lagi Kecamatan Gunungguruh.


Sarapan Bubur di Cikiray

Sesampai di Panggeleseran aku belok kiri ke arah Jampangtengah dengan maksud ingin mencapai Joglo segera. Awalnya jalan yang dilewati bagus hotmik mulus tetapi setelah lewat belokan sekitar 2 km dari Penggeleseran jalan berlubang dan berair juga terulang lagi. Alhamdulillah sambung lagi jalan cor yang tampak lebih bagus dan kuat dari jalan hotmik sebelumnya, kemudian belok kiri ke arah Padabeunghar lewat jembatan yang terdapat jalan lebar banyak diinjak kendaraan proyek yang memecah jalan menjadi bergelombang dan melepas batu batu terpasang.

Perjalanan lebih dari 1 jam 30 menit dari rumah, bergumam dalam hati “begini beratnya mencapai tempat tugas di sana”. “Bagaimana nanti sampai di tempat tugas dengan cepat dan tepat waktu jika medan berat begini”. Akhirnya setelah melewati jalan berbelok, berlubang dan sebagian urug sampailah di pusat kota Bojonglopang, lihat penunjuk jalan kemana ke arah Sagaranten dan kemana ke arah Lengkong. Aku meyakinkan bertanya kepada petugas di pos depan pasar dan pertigaan kalau ke Lengkong ke arah lurus kemudian belok kanan. Jawabannya “iya, 20 km Pa ka Lengkong”. “hatur nuhun”, jawabku. Ku berpikir 20 km itu sama dengan jarak Cineam-Tasik bisa dicapai dengan waktu 45 menit dengan kendaraan. Lanjut lagi bersepeda motor Yamaha Mio Z aku telusuri dengan kecepatan standar yang biasa, aku tancap gas. Jalan bagus, sekali kali ada kerusakan berlobang, harus hati hati karena kadang berlomba kencang dengan angkutan umum elf jurusan Lembursitu-Surade, ada nanjak ada turun ada kelokan tajam, cekung dan cembung itu jalan. Sampailah di pusat kota Lengkong, “oh ini SMPN 1 Lengkong itu, teman sahabat pernah bertugas di sini”.

 

 

  Jalan Lengkong, elf dari Lembursitu ke Surade

SMP Negeri 1 Lengkong terlewat, sampailah di pertigaan dekat Polsek Lengkong, ku bertanya kepada seorang Ibu tentang arah ke Joglo yang mana. “Lurus Pa teras kin aya ngalangkung pudunan” katanya. Aku berbalik arah dan belok kiri ke arah Joglo. Sebelumnya aku pernah bertanya pula kepada seorang Bapak bapak tentang kemana ke arah Joglo. Beliau memberi petunjuk terus ikuti lurus, 15 Km lagi dari arah Lengkong. Arah ke Joglo dari Jampangtengah adalah persis searah dengan jalan yang dilalui angkutan umum untuk mencapai Jampangkulon dan Surade  yang setelah sampai di Kiaradua menuju ke arah kiri.

Untuk mencapai Joglo dari Jampangtengah lumayan menguras tenaga dan karena pertama kali perjalanan harus banyak bertanya. Joglo itu adalah nama tempat yang menjadi muara dari tiga jalan yang bertemu, dari arah Surade, dari arah Sukabumi dan dari arah Jogjogan (Jalan dari Joglo ke lokasi) sekolah cukup lumayan jauh.

Aku berhenti di warungkopi tepat setelah sampai di Joglo, langsung pesen segelas kopi mocacino, kemudian ambil roti dan kacang sebagai santapan pengganjal perut sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju. Aku bertanya ke tukang kopi tentang jalan ini untuk mencapai ke SMPN 5 Simpenan. Tapi tukang kopi menjawab ketus kurang bersahabat. Dalam hati bergumam “beginikah ya karakter orang selatan, ada orang nanya malah ketus”. Beliau menjawab, “Pa, pami bade ka Simpenan mah lebetna kedah ti Simpenan ti dieu mah teu terang, Bapa lepat kedahna lebet ti Bagbagan”. Hatiku kesal (jauh jauh dari Kadudampit mendapat dikte menyalahkan perjalanan yang sudah dilalui) dan menjawab, “numawi Pa anu ngawartosanana nu raos mah ti dieu saurna caket”.  Sifat ketusnya entah karena dia punya sepeda motor baru, baru seminggu matic Honda vario cicilan yang telah bertabtrakan oleh anaknya, terlihat waktu itu dia memegang dashboard nya yang melonggar, dan berbicara kepada temannya  yang ada di situ.

Setelah aku bayar dan merasa gagal berdiplomasi dengan tukang kopi untuk mendapatkan informasi jelas tentang alamat sekolah yang akan aku tuju, akhirnya aku pindah duduk pura pura ikut meneduh di barung Pangkalan ojeg tepat di pinggir jalan masih satu sisi dengan warung kopi tadi. Ku bersalaman dan kemudian duduk dengan dua orang tukang ojeg, mereka kelihatan agak bengong kedatangan orang baru yang tak dikenal, akhirnya aku memperkenalkan diri bahwa aku datang dari Kadudampit. Awalnya dua orang ojeg kurang respon kedatanganku, tetapi tiba tiba datang seorang tukang ojeg lagi yang kelihatan lebih montok tetapi berbahasa lebih halus, lancar dan bisa menyesuaikan bagaimana berbicara dengan orang baru yang datang dari luar.

Setelah saya dipersilakan duduk kembali oleh yang montok itu, saya mulai berbicara bahwa kedatangan ke Joglo adalah akan melakukan survey buat off road untuk perjalanan yang bisa melewati SMPN 5 Simpenan. Tukang ojeg yang montok itu sebut saja Kang M, mulai melihat serius ke wajahku dan melihat sepeda motorku. Kemudian bertanya, “Bapa teh bade kamana? Ka palih mana bade ngalangkungna, ku abdi kaemut pami ti dieu mah lebet jalan itu awon Pa sareng tebih”. Saya mengernyitkan mata sembari berfikir, “kok dari Joglo yang dibilang lebih dekat masih dibilang jauh ya”. Dia bertanya lagi, “Pak punten nyandak gambar petana teu Pa?”. “Aya” saya bilang. Setelah dibuka peta dia terperanjat dan menunjuk nunjuk peta karena jalur off road mau melalui perkampungan yang sulit ditempuh, hanya bisa dengan sepeda motor tinggi. “Bapa bade ngalangkung ka dinya nganggo motor ieu? Abdi mah sanes ngaalitkeun manah Bapa, moal dugi Pa ku motor kitu mah. Anu tiasa oge handapanana sok dibukaan heula nembe tiasa dugi”. Katanya.  Saya merenung, kok orang seolah olah tidak mendukung rencana perjalananku ya. Apa dia mau terlibat dalam perjalananku ini.



 

Istirahat di Joglo

Akhirnya aku jelaskan dengan jelas bahwa perjalanan ke jalur yang akan dilalui ini adalah bukan untuk survey jalur offroad tetapi bahwa aku mendapat kabar akan ditempatkan di SMPN 5 Simpenan Satu Atap untuk memimpin. Setelah jelas maksudku akhirnya Kang M mulai faham dan menceritakan bahwa katanya kalau tidak salah awalnya yang akan ke sana adalah Ibu E dari Cigaru, kebetulah Kang M kenal dekat dengan suaminya Bapa A (ternyata di kenal dengan keluarga Ibu E, teman waktu tes Kepala Sekolah bersama-sama). Setelah komunikasi jelas tujuan yang sebenarnya, mulai Kang M menceritakan tentang jauhnya jalan ke sana, manurutnya perjalanan lebih dari 7 Km. Aku mulai terbelalak, “bagaimana nanti tugas di sana kalau harus menempuh jalan yang begitu berat dan jauh, bagaimana bisa tepat waktu datang?”

Kang M melihat lagi peta, “Tah ieu teh sakola di Ciangkrek, di lemburna Kentung, kan manehna kokolotna oge.” Begitu berbicara kepada dua temannya. Sebelum ada keputusan bagaimana aku bisa lewat ke sana aku minta berfoto dulu dengan mereka tukang ojeg di barung itu. Baru berbicara teknik bisa sampai di SMPN 5 Simpenan Satu Atap. Setelah berdiskusi akhirnya Kang M siap mengantar menelusuri jalan yang sulit dilewati oleh sepeda motor. Mio Z ku dititip di pangkalan ojeg, kebetulan tempatnya berdampingan dengan warung kopi tadi, dan aku juga sekalian menitipkan ke pemilik warung kopi itu.

Mulailah perjalanan, awalnya melewati jalan aspal dan lebar karena truk angkutan juga bisa lewat. Habis penghujung jalan aspal sambung jalan masih bebatuan sebesar besar kelapa berbentuk lonjong, bulat, pipih dan runcing runcing. Terbayang kalau pakai Mio Z pasti tidak enak lah, Kang M memakai sepeda motor bebek Honda tahun 2002 (pernah aku Tanya motornya tahun berapa). Karena sudah biasa memakainya dia enjoy saja, berpenampilan pakai jacket krem, bertopi, bercelana pendek (kolor) dan sandal jepit swallow. Kecepatan awal cukup tinggi tetapi pas menginjak jalan berbatu mulai mengendur, tiba tiba kendaraan terasa berat, ban kempis dan masuk dulu tambal ban, tambah angin, karena berdua di motor jadi beban lebih berat. Aku bayar 2000 rupiah buat tambah anginnya.

Jalan aspal sudah jelek dan batu dari arah Joglo

Di perjalanan Kang M berbicara meratapi nasibnya hanya menjadi tukang ojeg. “Ah abdi mah Pa sakola teh teu dugi ka luhur sapertos Ibu E, kumaha da sepuh mung mampu dugi ka SMP ngabiayaan, mung dugi ka janten tukang ojeg” keluhnya. Aku tersentak ya suka ada orang yang berbicara tentang kehidupan pribadinya, pahit dan manis hidupnya terungkap. Nggak terasa setelah mendengar cerita keluhannya itu mata sedikit terhalang, Kristal bening pada mataku terasa dingin tertiup angina. Aku piker betul juga nasibku jauh lebih baik dari dia yang hanya sebagai tukang ojeg. Aku jawab sembari menelan ludah,”ah Kang da kadang kadang nasib jalmi teu sami, tos aya kadarna, nu penting urang tiasa syukur ka Nu Maha Agung, sanoas Akang teun janten sapertos nu sanes oge tetep bakal gaduh peran anu penting, buktosna abdi ayeuna abdi tiasa tepang, bade ka SMPN 5 Simpenan dianteur ku Akang. Kadang kadang urang upami mengeluh bae nasib mah tungtungna moal tiasa syukur, da aya sababna apan urang teu sukses sapertos nu sanes teh”.

Pada perjalanan di atas batu koral yang kasar setelah melewati sebuah jembatan tiba tiba naik dan ditemukan ada keramaian, rupanya sedang hajat pernikahan. Alunan musik dangdut kedengaran lengkap dengan penyanyinya, orang orang berlalu lalang memenuhi undangan. Ternyata walaupun di tempat yang jauh dari keramaian kota kegiatan hajatan pernikahan cukup meriah.

Perjalanan berlanjut nyambung ke jalan yang masih baru dilapis aspal lebarnya hanya sekitar 5 meter tapi tidak lama langsung sambung lagi jalan bebatuan. Setelah sekian jauh perjalanan tiba tiba Kang M membelokkan motornya ke kiri dan masuk jalan tanah merah perkebunan teh rupanya dia ambil jalan pintas, untung tidak turun hujan, berpapasan dengan seorang pedagang gorengan pikul. Mulai terlihat luas hamparan perkebunan dan nun jauh di sana banyak puncak puncak bukit berwarna hijau kebiruan. Sampai di suatu tempat yang agak ramai di situ Kang M bilang, “Pa ieu SMPN 3 Lengkong”. Jawab saya “oh”. Sempet berhenti melihat ke halaman dan bangunannya. Karena cuaca cukup panas akhirnya perjalanan lanjut lagi.

Jalan aspal sebelum Cieurih

Jalan Merah Perkebunan Teh

Setelah lewat SMPN 3 Lengkong (sekarang jelas bahwa sekolah itu adalah SMPN 3 Lengkong Satu Atap) berlanjut lagi jalan naik turun dan pada pelataran yang rata di pinggiran jalan ada lapang cukup luas, rupanya tempat kegiatan masyarakat daerah yang dikenal dengan nama lembur Cieurih.

Dari Cieurih perjalanan mulai agak turun melewati jalan kecil tidak berbatu hanya bercadas dan berair sampai di suatu tempat berhenti dulu sembari melihat bukit bukit yang akan dilalui untuk mencapai tujuan. Aku bilang kepada Kang M, “Kang ieu perjalanan meni kieu kumaha dugina ka tempat tugas bangunna ieu mah mapahna oge dua jam nembe dugi ka sakola”. “Muhun Pa abot medanna di dieu mah anggap we Pa etang etang di Irian Jaya,” katanya. “Muhun Kang, ieu mah kedah nganggo helicopter sapados enggal dugi,” aku gumam. Kang M tertawa. Aku berpikir bagaimana nanti tugas berjalan begitu jauh, badan kena panas, baju basah keringat, bagaimana wibawa seorang Kepala Sekolah dipertaruhkan kalau medan seperti ini.

 

   



Jalan turun dari Cieurih

Setelah lewat Jalan turun terjal berair dan berbatuan lanjut lagi,  aku berbonceng naik sepeda motor, karena mulai turun yang terjal, maka handle jok aku pegang erat erat, sesekali jalan tanah saja, sesekali campur batu batu sebesar kepalan tangan orang dewasa dan sesekali berair. Sampai di suatu turunan terdengar dari bawah sana suara sepeda motor yang sedang naik mendeakt, lajunya tidak cepat karena nanjak dan habis hujan. Telihat motor penuh dengan tanah dan lumpur. Sempet berbincang bincang dulu, rupanya kang M kenal dengan orang itu. Kabarnya dia naik dari Ciangkrek. Hatiku gembira karena artinya tempat tujuan sudah semakin dekat.



  

Bincang bincang dengan orang yang datang dari Ciangkrek

Pemandangan di Cieurih

Lanjut turun lagi menuju tempat yang lebih bawah dari sebelumnya, masih terlihat bukit bukit dengan puncaknya, kemudian masuk tempat daerah yang turunannya agak landai tetapi tanahnya merah dan berlumpur, tiba tiba  terdengar suara rombongan sepeda motor trail, Team offroad dari Palabuhanratu rupanya menelusuri jalan tanah bebatuan yang dilewatiku sebelumnya. Ada sepuluh sepeda motor yang bergabung dengan team itu. Ada dua motor yang tidak mulus menelusuri jalan merah dan licin itu. Kedua motor itu yang satu mati mesin dan yang satu lagi terguling di tempat yang miring. Tetapi karena team memiliki rasa solidaritas yang tinggi maka dengan segera dapat diatasi.

 


  

 

 

Rombongan Trail Bertemu Saat Survey

Jalan dari Cieurih yang dilewati oleh team offroad

Perjalanan lanjut lagi sampailah kepada suara mesin yang menderu. Rupanya mesin Ini adalah Penggilingan padi. Kang M bicara:”Bapak ieu teh mesin penggilangan padi teh kagungan Pa Kadus Pa Kentung, Bapa pami bade tugas di dieu kedah cakat sareng Pa Kadus. Dalam hati berfikir, di tempat jauh ini ada mesin penggiling padi artinya masyarakatnya cukup banyak dan punya hasil dari alam berupa padi yang melimpah. Setelah lewat penggilingan sampailah ke sudut lapang yang merupakan halaman sekolah. Aku langsung dengan Kang M menuju halaman warung sebelah atas lapang ke arah Barat (araha perkiraan pada saat pertama kali Ciangkrek), membeli makanan ringan dan kopi hangat. Sampai di situ tepat dengan bunyinya suara adzan dhuhur di masjid.

Setelah bincang bincang dengan orang warung, kebetulan ada seorang pemuda di situ, bercerita bahwa biasa suka ada yang ngontrol dari Dinas memang menggunakan jalan dari atas dari arah Cieurih. Untuk melengkapi bukti dan kenangan aku pernah datang ke halaman sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap, sudah biasa tatkala aku ada di tempat baru suka mengambil gambar (foto sekolah).

Kesan sampai di sekitar sekolah cukup kumuh kurang terpelihara padahal bangunan bagus dan halaman cukup luas. Menurut pemuda tadi bahwa kalau samen dan Agustusan di lapang itu ramai dengan kegiatan pemuda dan masyarakat bahkan pertunjukan wayang golek juga suka dipertontonkan. Pada saat kegiatan lebaran aktifitas orang cukup banyak karena para pemuda banyak yang bekerja di luar kota ada yang di Jakarta juga. Pada saat lebaran meraka pada mudik.

Perjalanan dari Joglo sampai lapang halaman sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap ditempuh hampir dua jam, cuaca panas, jalan becek, licin dan bebatuan, badan berkeringat tembus ke baju dan jacket. Kang M kelihatan dengan wajah bertopi coklat kehitaman bercucuran keringat. Rambut beberapa helai ke luar dari topinya seperti telah dicelup ke dalam air. Aku ingin buang air kecil waktu itu mencari toilet ke belakang warung. Ada kolam kecil dan airnya mengalir ke dalam ember kecil dari selang sebesar jari manis mungkin ukuran 3/8, jernih rupanya air dari gunung, tapi kolamnya masih kumuh belum permanen, alas cuci piring masih terbuat dari belahan dan potongan bambo. Ku jongkok di situ, susah karena keringat masih nempel di celana dan kaos dalam. Selesai bersuci kembali ke halaman warung lagi lanjut cicipi makanan ringan dan setelah selesai aku bayar.

  

 

Foto lingkungan dan halaman SMPN 5 Simpenan Satu Atap

Selesai melihat lihat lokasi sekolah dan bincang bincang di warung kemudian Kang M mengajak: “Pa urang teraskeun we nganggo jalan Bagbagan”. “Mangga hayu” jawabku. Semangat dan yaqin akan lancar karena setelah melihat jalan dari halaman sekolah turun ke arah kali lebih baik dari jalan dari Cieurih menuju sekolah. Jalannya sudah ditembok sebagian dan ada babatuan yang baru dipasang di atas tanah.

Sebelum meninggalkan warung itu, pemuda bercerita bahwa jalan ke sini (Ciangkrek) yang enak dari arah Bagbagan tetapi tidak bisa dengan kendaraan roda empat. Sama seperti dari Cieurih hanya sampai pinggir lapang, selanjutnya sejauh 3,5 Km ke Ciangkrek jalan tanah. Kang M mengajak lagi: “Hayu Pa ah bilih kabujeng turun hujan, kin leueur lungsurna mengkening tebih keneh.” “Hayu”, jawabku sambil membetulkan tali tas kecil ke pundak.

Sepeda motor dinyalakan, aku naik duduk di belakang, kemudian pamit kepada orang orang yang ada di warung. Sebelum belok kiri ke arah jalan yang turun melewati halaman SD Pasirjambu, kulihat dulu itu sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap, sudah ada nomor gudepnya  artinya kegiatan pramukanya aktif. Jalan turun dari sekolah cukup menegangkan, jalan tembok yang belum selesai sempurna masih bersambung dengan jalan batu yang disusun lebih rapi. Melewati pinggiran tebing tinggi yang banyak bebatuan besar menikung tajam 90° hanya dengan lebar 60 cm membuat berdebar jantung, jika sepeda motor tidak stabil remnya bisa terperosok ke semak semak dan jatuh ke jurang. Kemiringan jalan lebih dari 30° ada sekitar 13 belokan tajam dangan jarak rata rata 40 m, semakin bawah semakin tepikir akan kemana arah jalan ini. Ada belokan ke kanan turun dengan tajam terasa badan semakin depan bergeser menempel di punggung Kang M, kalau sebelumnya yang dilewati tempat sunyi tidak ada rumah maka disini melewati tempat yang cukup padat dengan rumah rumah. Sepeda masih turun dan menuruni jalan yang lebih turun lagi, kemudian rata sedikit dan berbelok kanan lagi kemudian telusuri jalan bebatuan yang telah dipecah dan ditata rapi pada tanah selebar 80 cm, ku berfikir kenapa lebih lebar, ternyata jalan itu kemudian berbelok kiri dan berbelok lagi lebih tajam dan turun lebih dari sekedar membentuk huruf U bahkan campur air yang mengalir mengikuti bagian tengah jalan yang mulai mencekung. Terkejut juga karena tikungan dan turunan itu tepat berada di atas sungai yang berair keruh karena hari setelah hujan.

 


  

Jalan turun yang menukik dari sekolah

Selesai lewati jalan yang turun, tantangan yang lebih berat di depan harus melewati jembatan gantung yang alasnya papan nampak sudah sering digonta ganti karena patah atau lapuk. Kang M minta aku turun, dan memang aku juga mau turun karena mau lewat jembatan yang nampak sudah tua. Kang M melaju dengan tangan sebelah kanan pegang gas dan yang kiri pegang gantungan jembatan, bisa karena nampak nya lebar jembatan lebih dari 1 m. Ku perhatikan Kang M, sebentar laju sebentar berhenti, beberapa kali seperti itu disertai dengan goyangan jembatan. Aku belum berani nyeberang karena mau tuntaskan dulu lihat nyebrangnya ojeg. Setelah itu baru aku berani nyebrang, ayunan jembatan terasa, lubang lubang pada lantai kelihatan karena sambungan kayu yang tidak rata dan agak jarang, air keruh dan bebatuan nampak jelas pada sungai.

 

 

 

 

Jembatan gantung Sungai Cibunut

Kang M menunggu di ujung jembatan. Setelah sampai di ujung, aku disilakan naik dan langsung nanjak lagi dan belok kiri, jalan bebatuan yang terpasang sebesar besar kepala, melihat ke pinggir kiri sungguh mengerikan karena hanya dengan lebar jalan cukup satu sepeda motor tetapi jurang yang dalam sepanjang pinggiran sungai, batu batu sebesar minibus tampak jelas. Belok kanan dan nanjak belum berhenti, sambung jalan lebar 80 cm berbatu hitam dan putih tidak serapi jalan sebelum nyeberang jembatan, nanjak di pinggir kiri dan kanan padi yang mulai berbuah, sampailah ke tempat dimana rasa teduh dan udara segar didapat karena di bawah tebing tinggi yang pohonnya masih utuh.

Jalan nanjak berbatu dan tanah

Masih lanjut dengan jalan bebatuan campur tanah merah, lumayan tapi sudah mulai mongering, melewati kelokan kelokan tajam, lintasi sungai sungai kecil melintang ke jalan yang mengalir jernih airnya sampailah ke tikungan tajam ke arah kanan naik dengan gradient lumayan tinggi, jalannya tanah merah yang penuh bekas ban sepada motor yang telah mengeruknya. Tapi menarik di sini, luat Simpenan dan teluk Palabuhanratu kelihatan jelas. “Kang Kang, ureun heula ah itu laut katingali hoyong difoto.” Pintaku kepada Kang M. Dia jawab: “Kin Pa di payun langkung jelas”.

Berhenti di puncak jalan yang rata betul saja dari sini kelihatan laut yang luas. Berfoto di Pasir Lengking  Guling Munding (nama tempatnya). Aku spontan potret tuh pemandangan, indahnya terhampar lautan ada di balik ranting ranting pohoh dan dedaunan. Kemudian ku minta Kang M memotret ku sendiri, dan dia lakukan. Aku cek hasilna, cukup bagus dan jelas.

 

 

   

Berfoose di Gulingmunding

Lanjut lagi perjalanan menelusuri jalan seperti semula bebatuan dan campur tanah merah di bawah tebing tinggi, teduh karena matahari terhalangi pohoh pohon tinggi. Tiba tiba kelihatan dari kejauhan ada orangtua bertopi membawa sesuatu. Setelah sampai di depan orangtua itu Kang M berhenti dulu kemudian mengambil uang dan diberikan kepadanya. Rupanya orang itu adalah sedang bekerja betulin jalan supaya lebih bersih dan rapi. “Di dieu mah Pa biasa sok aya anu nyungkeun sumbangan kanggo ngalereskeun jalan”. Kata Kang M. “Muhun”, jawabku. Sempet kang M dan orangtua itu berbincang bincang, rupanya mereka sudah kenal sebelumnya.

Jalan pinggiran bukit yang kena urug

Lanjut perjalanan melewati jalan yang agak gersang karena panas, jalan biasa bebatuan dan berlumpur, di sebelah kiri dan kanan tampak jurang begitu dalam. Sampai di suatu tempat yang di pinggirnya lebih tinggi, banyak orang yang sedang memukul mukul pagi, rupanya mereka senang panen padi. Kang M berbicara: “Pa di dieu mah sok ngaharuma janten beasna hasil ngahuma”. “Oh muhun mata pencaharianana nya”. Jawabku sembari merenung, mendengar budaya ngahuma itu dulu waktu belajar di SD, sekarang lihat langsung di sini.

Setelah lewati jalan di samping orang berhuma lanjut perjalanan menelusuri jalan berkoral batu putih yang dipasang kuat pada tanah tetapi tidak rapi, runcing runcing permukaannya, khawatir bisa bisa ban meletus karena tertusuk batu tajam. Lumayan susunan bebatuan ini cukup panjang 50 m lebih selanjutnya bebatuan hitam lagi yang turun menikung juga. Di tempat yang rata saat kami enjoy di punggung bukit tiba tiba ada sepeda motor RX King nyalib, sempet terkejut karena di jalan yang seperti itu ada juga yang bisa nyalip, setelah dilihat ternyata yang bawanya anak muda.

PerjaJalan panas maklum tiga perempat jam yang lalu baru waktu dhuhur sekarang giliran lewati jalan terjal bebatuan menanjak kemudian turun lagi sambung jalan coran yang sudah mulai rusak, bahkan ada yang patah cornya terpisah habis karena terbawa hanyut, mau tidak mau jalan seperti harus dilewati karena tidak ada lagi jalan yang terdekat, lewati jalan bercor sambung jalan bebatuan, menikung ke sebelah kanan di bawahnya air jernih mengalir melalui parit yang memotong jalan. Sambung jalan yang kena bekas urug dari tebing, tanahnya coklat kemerahan berair pula. Saat menuruni jalan itu hati berdebar takut jatuh terperosok ke jurang, handle jok dipegang kuat, badan bergeser ke depan karena gaya tarik bumi. Kelihatan di sebrang jauh dinding bukit bukit artinya perjalananku ini juga ada di dinding bukit.

 

Jalan turun

Sampai di jalan yang turun dan licin, aku diminta turun dulu oleh Kang M. “Pa lungsur heula, leueur ning”, pintanya. Tidak susah buat turun, aku jawab “muhun”. Kang M laju duluan ke bawah aku mengikuti jalan kaki sembari pegang celana ditarik ke atas sedikit supaya ujungnya tidak menyentuh tanah. Setelah lewat yang becek dan licin naik lagi dan lanjutkan perjalanan, lumayan lama juga menelusuri jalan turun, kesal dan menegangkan ditambah banyak lubang sehingga badan sering dibawa anjlok dengan kedalaman 5-15 cm  karena coran rusak. Ada jalan cor turun yang panjang dan menikung mula mula ke kanan kemudian ke kiri, tetapi setelah di bawah sambung jalan tanah merah, harus hati hati melaluinya.

Pada saat jalan mulai merata perjalanan melewati jalan teduh karena di kiri dan kanan banyak pohon jati (dikenal jabon), lumayan buat berteduh dan istirahat sejenak bisa, tetapi karena takut segera turun hujan istirahat di tempat itu tidak sempat. Setelah melewati jalan becek giliran lewati jalan yang teduh ada barungnya tetapi jalannya sangat kasar karena bebatuan yang terpasang tidak begitu rapi sepanjang jalan rupanya bebatuan yang dipasang tidak pernah digiling dengan stoom. Di tempat yang sangat sunyi dilewati jalan yang dilalui aliran sungai, airnya besar dan  jernih, sempat turun dulu bareng sama Kang M untuk menenggelamkan dulu kaki dan sandal agar lumpur tebalnya hanyut.

Alhamdulillah selesai melewati jalan turun dan bebatuan sekarang baru belok kiri dan menemukan jalan hitam yang telah diaspal melewati rumah penduduk. Lumayan jalan sedikit rapi dan lebar nampaknya kendaraan roda empat bisa lewat di sini. Panjang  dan kulak kelok juga ni jalan, ada beberapa warugn kecil yang dilewati, kemudin berbelok kanan Lewati jalan gang. Kang M berbicara: “Pa ieu tah SMPN 3 Simpenan”. “Oh muhun”, jawabku. Kemudian jalan turun dan belok kiri, sampailah di jalan yang lebih lebar dari tadi, nampaknya kalau di sini truck juga bisa masuk.

Jalan di samping SMPN 3 Simpenan

Jalan baru yang dilewati ini melewati rumah penduduk, ukuran rumahnya nampak besar besar, sebagian ada yang memiliki gasari ada juga yang memiliki kolam di halamannya. Jalannya lebar pernah diaspal hanya kondisi sekarang sudah mulai hancur, sekali kali lewat jalan bebatuan, sekali kali lewat jalan corran dan jalan berlumpur. Cukup lama dan kesal juga menelusuri ini jalan, tiba tiba kang M memberitahu: “Pa itu walungan Cimandiri”. Jawabku, “oh itu the, meni beureumnya caina”. “Nuju ageung Pa caina”, jawabnya.

Sungai Cimandiri lagi pasang

Lewat jalan sepanjang pinggiran Sungai Cimandiri, itu sungai kadang menjauh kadang mendekat, bahkan aku dan Kang M harus menuruni sungai yang mengalir ke Cimandiri karena tidak ada jembatan, sengaja ini sungai pinggirannya dibuat landai supaya kendaraan bisa melewatinya. Tidak sulit melewati ini muara sungai tetapi harus hati hati, karena ban sebagian tenggelam karena aliran sungai bahkan kaki Kang M sengaja ditenggelamkan sembari membuang lumpur dari sandalnya. Sungai yang dilewati ini airnya jernih dasarnya batu batu kali yang telah dirapikan supaya tidak mengganjal saat ban kendaraan melewatinya.

Selesai naik dari sungai kecil masih berlanjut jalan lewati penggiran sungai Cimandiri sambung dengan jalan yang penuh dengan pecahan batu yang melimpah ternyata ini jalan melewati pinggiran sungai yang jadi parkiran kendaraan pengangkut pasir yang diambil dari sunga Cimandiri. Area luas dimana ada alat berat yang mengangkat batu kali dipindahkan ke mesin pemecah sehingga menjadi pecahan batu kadil buat bahan bangunan campuran cor harus dilewati untuk segera ke luar dari pinggiran sungai Cimandiri.  

Tibalah saatnya berlanjut dengan jalan hotmix yang mulus, lancar dan laju sepeda motor lebih kencang dari selama perjalanan sebelumnya. Jalan lebar lebih dari lima meter, kendaraan beroda dua dan empat, bahkan truk juga ada. “Tah ieu jalan Mariuk Pa,”. Kang M bilang. “Muhun Kang, raoseun ngageleser.” Jawabku karena pikiran ku membandingkan dengan jalan berat yang telah dilewati tadi. “Kin Pa ti dieu belok kiri ka Kiaradua”. Sambungnya. “Muhun hayu, tapi kedah milari heula rumah makan, urang emam heula lapar.” Saranku. “Muhun Pa sami abdi oge lapar.” Keluhnya. Setelah di penghujung jalan, berbeloklah ke arah kiri menuju Kiaradua.

Jalan hotmik Mariuk

Perjalanan ke arah Kiaradua cukup lancar karena jalan lebar, bagus walaupun banyak belokan, perjalanan diercepat karena mau cari warung buat makan, agak susah cari rumah makan, akhirnya sampailah di suatu tempat tukang sate. Kami berdua pesan sate masing masing 10 tusuk. Sembari menunggu mateng dari pembakaran kami berbincang perjalanan. “tabuh sabaraha ayeuna Pa.”T anya kang M. “Tabuh satengah dua Kang,” Jawabku. “Oh berarti dua jam kirang Pa nya ti luhur ka dieu.” “Muhun, tebih nya sabaraha kilo nya?” Sahutku. “Ayeuna pami ti Ciangkrek ka Cibuntu 7 Km, CIbuntu ka dieu 8 Km, 15 Km Pa”. Sambungnya. “Wuih lumayan nya.” Kataku sambil ambil saputangan dan kemudian mengelap muka, terasa ringan mukaku dan perasaan lebih segar, ku lihat saputangan bekas muka basah dan bercampur kotor akibat debu yang nempel di muka. “Pami ti dieu ka Joglo sabaraha jam deui tah Kang? Tanyaku. “Kiranglangkung sajam Pa.” Jawabnya. “Tabuh tuli dugi nya?” “In sha Allah Pa,” sambungnya. Aku lihat wajah Kang M, kelihatan berkeringat juga dengan warna sawomatang kehitaman akibat sinar matahari karena parjalanan yang jauh.

Makan siang di warung sate

Setelah selesai bakar sate langsung yang punya warung, menyajikannya pada dua buah piring, tambah sambal dan acarnya, disiapkan juga dua kantong kerupuk dan sebakul nasi hangat. Lahap juga aku dan Kang M makan siang karena habis menembus perjalanan yang sangat jauh dari puncak bukit, turun bukit, dan sampailah di bawah sekitar laut Simpenan. Perkiraan jalan yang telah dilalui adalah 30 Km mulai Joglo sampai di sini makan sate.

Jalan ke Kiaradua

Selesai makan lanjut lagi perjalanan, kelokan kelokan tajam dan jalan sunyi dilewati sampai di suatu tempat Kang M tahu bahwa sepeda motor akan kehabisan bensinnya. “Kunaon kang?” Tanyaku sembari merasakan sepeda motor lajunya sedikit tersendat-sendat. “Ieu bensin bade seep,” Katanya. “Oh kumaha atuh?” Tanyaku sambil berfikir, kalau betul habis bensin harus jalan kaki tidak tahu berapa jauh? Tapi dia jawab, “caket da Pa tah di payun sakedik  deui. “Oh”, sahutku lagi. Tak lama setelah itu sepeda motor sampai mati mesinnya, tapi untung pas sampai di sebelum tempat jualan bensin kurang lebih 15 meter lagi. Jadi aku jalan kaki sedikit.

Istirahat di tukang bensin

Kang M kemudian memanggil tukang jualan bensin dan membuka bagasi sepada motor untuk segera diisi. Tiba tiba hujan turun lebat, aku dan Kang M tertahan di tukang bensin. Aku izin dulu untuk shalat dhuhur dijama dengan ashar. Aku dekati warung lain di dekat tukang bensin. “Assalaamu A’laikum, Bu tiasa ngiring netepan?” Salam dan pintaku ke Ibu pemilik warung. “Wa alaikum salam, oh mangga  tiasa Pa, mung pabalatak di dieun mah. Atuh di handap nya sakantenan abdasna.” Jawabnya. Ibu warung mengajakku masuk ke ruang bawah, turuni tangga besarnya hanya pas badan ke ruang  bawah. Kursi tamu (sofa), kamar dan WC lengkap dengan dapurnya. Aku ditunjukkan tempat berwudhu nya dan sehelai sajadah disiapkan. Setelah wudhu langsung aku raih sajadah yang disimpan di atas sandaran sofa kemudian ku buka dan ku hadapkan ke arah qiblat. Sementara hujan semakin lebat aku shalat sampai selesai dan memohon kepada Sang Khaliq akan kemudahan aku dalam perjalanan survey ini.

Selesai shalat kebetulan hujan tidak selebat tadi, aku pamit untuk melanjutkan perjalanan, sampai di luar ada pandangan yang membuat tanda tanya. Aku bertanya kepada kang M, “Kang kunaon jok teu ditutupkeun (jok dibiarkan berdiri) pan hujan?” “Oh muhun Pa, bilih baseuh kahujanan.” Jawabnya. Aku berfikir dan bergumam dalam hati, “oh bener ngabelaan kanyamanan panumpang jok teu ditutupkeun supaya tetep garing, kapikir oge.”

Masih berteduh tiba tiba datang sebuah sepeda motor dengan dua penumpang mampir bareng dan bertanya kalau ke Pangandaran masih jauh. Kang M mengecek kedua penumpang itu, “Timana kitu Kang?” Salah seoran menjawab, “ti Bogor Kang”. Rupanya mereka orang baru mencoba lintas Selatan dari Bogor mau ke Pangandaran. Kang M bilang, “Wah Kang panginten dugi ka Pangandaran mah enjing, dugi ka Cianjur oge mungkin kin wengi tabuh dalapan.” Kedua orang itu kelihatan pada wajahnya kurang percaya, tapi nampaknya mereka sudah berencana untuk melanjutkan perjalanan, dan akhirnya mereka lebih dulu berlanjut.

Setelah hujan tinggal gerimis kecil aku dan Kang M melanjutkan perjalanan. Ku lalui jalan lebar, mulus dan berhotmik, kelokan kelokan tajam, dengan sepeda motor yang telah diisi premium. Tenaga dan semangat baru karena telah istirahat dulu maka sampailah di sekitar SMPN 2 Simpenan. “Pa sakedap deui dugi ka SMPN 2 bade mampir ka Bu Evi?” Tanyanya. “Oh ki."unya, ah teu kedah isin da can kantenan di SMPN 5 Simpenan bilih robih,” jawabku. Setelah pas di jalan lurus dengan SMPN 2 Simpenan, Kang M menunjuk. “Tuh Pa itu bumina Bu Evi caket sakola.” “Muhun,” jawabku. Perjalanan di sekitar SMPN 2 simpenan lumayan agak lurus, tidak seperti sebelumnya.

Kelokan kelokan indah, hijau  daun teh di sekitar perkebunan dilalui dengan mulus, tibalah pertigaan di Kiaradua dan aku berbelok ke kiri. Awalnya jalan rata banyak kelokan dan mulus, tetapi setelah perjalanan lima menit lebih ada jalan yang berlubang dan berair karena hujan. Kemudian telusuri jalan yang nanjak dan berbelok seperti huruf Z setelah itu kelokan biasa ke kanan dan ke kiri, sampailah setelah perjalanan lebih dari 10 menit dari Kiara dua di terminal ojeg Jogl "o. Segera ku lihat mio z ku, dalam pikirku, “Alhamdulillah aamaan”. Duduklah bareng di bangku warung bekas tadi pagi aku duduk saat minum kopi sebelum telusuri keliling pinggiran Simpenan. Aku buka dompet dan ambil uang 4 lembar 50.000 an buat ongkos, kemudian kuserahkan Rp 200.000,00, kataku “Kang sakieu nya.” Kang M melihat ke lembaran uang yang telah aku hitung, kemudian menjawab, “aduh Pa tambihan deui, pan jalanna uninga nyalira. “Oh kitu.”  Aku merenung dan terpikir, memang perjalanan yang begitu jauh dan melelahkan, perjalanan saat hujan dan gerimis, rasional juga seandai aku tambah lagi. Akhirnya aku tambah lagi dua lembar 50.000 an. Aku Tanya, “cekap teu”? Kang M jawab, “Cekap Pa.”

Setelah bincang bincang bahwa dia Kang M juga punya istri yang berasal dari daerah Cisaat tepatnya dari Cibaraja merasa hati itu lebih dekat, kok  sama sama orang Sukabumi Utara ya dam aku merasa sudah cukup lah kegiatan survey sekolah hari ini. Jalan yang begitu jauh telah dilalui, tidak terasa dan tidak sengaja aku telah mengelilingi sebagian wilayah Simpenan. Perjalanan yang dilewati itu mencapai jarak tidak kurang dari 60 Km, mulai dari Joglo, Cieurih, Cingkrek, Cibuntu, Cidadap, Loji, Kiaradua sampai kembali ke Joglo. Akhirnya aku pamit, “Nuhun Kang nya tos nganteur kukurilingan. Untung aya Akang pami teu aya rupina moal dugi ka Ciangkrek. Sakantenan pamit, abdi bade wangsul ka Kadudampit. Aeh nyungkeun nomor hp, bilih aya nanaon gampil.” “Mangga Pa, hati hati uihna, ieu nomor Hp abdi,” sembari mendiktekan nomornya.

Aku berdiri dan salaman dengan Kang M, kemudian bayar dulu Rp 10.000,00 ongkos parkir sepeda motor di pangkalan ojeg yang ditinggal selama perjalanan survey. Aku dekati sepeda motor, di sekeliling tempat parkir banyak orang yang melihatku, aku cukup senyum saja pada meraka dan bilang “punten”. Melihat jam tangan ternyata waktu pukul 15:00, terbayang dalam pikirku dengan PD “sampai Maghrib lah di rumah”. Saat mau menghangatkan sepeda motor ada orang duduk di barung, aku tanya, “bade kamana Pa?” “Bade ka lebursitu”, beliau jawab. “Hayu bade ngiring? Abdi oge bade kas Cisaat” ajakku. Beliau menjawab, “Oh tebih ning Pa, mulih timana kitu? Abdi kaleresan nuju ngantos rerencangan bade kana elf.” Sambungku, “Oh kitu, abdi wangsul ti Ciangrek, tipayun atuh nya, mangga”. “Mangga Pa hati hati,” sambil kelihatan mengernyitkan kening keheranan tetapi beliau masih meperlihtkan gigi rapinya ketawa.

Pulanglah aku dari Jogla, Alhamdulillah hujan reda, jadi leluasa kendarai Mio Z. Jalan lurus, kelokan keloka, turunan dan tanjakan ku lalui, SMPN 1 Lengkong dari arah dan sebrang jalan yang berbeda kelihatan, petigaan dan perempatan banyak kulewati. Aku kendarai sepeda dengan target sampai di rumah pas tiga waktu maghrib. Kecepatan standar 40, 50, sampai maksimal 60 km/jam, setelah kecepatan laju lebih tinggi maka segera kendaraan lain tersusul, jika mungkin ada kesempatan yang tepat aku salib, harus hati hati karena jalan banyak tikungan tajam.

Sampailah di Bojonglopang, ku lurus saja tidak menghiraukan lagi belokan ke arah lain, bahkan tempat bertanya pun tadi pagi aku lewati saja. Padangbeunghar jalan masih jelek berbatu dan becek selesai kuinjak belok kanan ke arah Panggeleseran kemudian masuk ke jalan cor, tiba tiba jelek lagi, hotmik bagus  dan sampailah di belokan ke arah kota. Pabrik semen, cipeundeuy, jembatan cipelang, SMP Baros kulewati, sampailah pinggiran jalan yang rimbun, di situ ada pangkalan ojeg dan aku berbelok kiri, turun lewati jembatan kecil. Cuaca semakin sore hamper mendekati maghrib, jembatan panjang di atas bendungan DAM hanya cukup untuk satu motor, terbuat dari besi, kulewati dengan PD karena yakin ini jembatan kuat, kemudian turun dan belik kiri, hati hati sekali karena kalau tidak bisa jatuh terperosok ke sungai buatan yang dipakai untuk mengaliran air ke pesawahan hasil pembagian dari bendungan.

Pinggiran dua sungai besar sungai Cipelang dan sungai buatan ku lewati dengan jalan cukup untuk dua sepeda motor jika berpapasan. Lumayan ada 200 meteran panjangnya, kemudian belok kanan masuk jalan hotmik, biasa campur lubang berair. Sampailah di depan Polsek Gunungguruh, aduh polisi polisi tidur agak tinggi jadi harus rem dulu, kebut lagi SMPN 1 Gununggurh terlewati, pas lewat jalur tunggu orang yang beri aba aba untuk bisa lurus nyembrang, Alhamdulillah lewat, sampailah di Sukamantri banyak polisi tidur, terpaksa harus rem  dulu. Lanjut lagi lewat rell kerata api Bogor-Sukabumi kemudian tancap gas dan sepeda semakin kencang.

Semakin dekat ke pertigaan Gunungguruh dan arah ke Bogor juga ke kota, terasa berat ban depan, “kunaon ieu”, gumamku. Aku berhenti dulu memastikan ada apa dengan ban depan? Ternyata udaranya berkurang, kempis. “Aduh, untung geus deukeut ka lembur, ah ieu mah kudu ditambal.” Sedikit menggerutu aku. Sampailah di tambal ban dekat SMP PGRI, ku minta ditambalkan ban ke tukangnya. Rupanya sepeda motorku mopo, kecapaian habis perjalanan jauh telusuri jalan Sukabumi. Tidak terasa waktu sampai di tukang tambal ban tiba waktu maghrib, terdengar suara adzan di sekeliling Cikiray. Aku tidak shlat dulu, pikirku tanggung nanti saja di rumah in sha Allah keburu.

Sambil menunggu ban selesai ditambal, ada bocor karena tertusuk paku, ku nikmati sekalian istirahat dari perjalanan jauh, tiga jam berlalu dari aku tinggalkan Ciangkrek. Tidak begitu lama proses tambal ban, rupanya tukang tambal telah terbiasa dengan kegiatan rutinnya. Selesai tambal ban aku bayar, “sabaraha Kang?”, tanyaku. “Ah, sepuluhribu Pa”, jawabnya. Alhamdulillah setelah rapi dan tas kecil telah digendong rapi, maka aku pulang ke rumahku di Kampung Cijagung RT 17 RW 05 Desa Gedepangrango Kecamatan Kadudampit-Sukabumi. Ku tancap gas lewat Jalan Cikiray, belok kiri ke Jalan
Gunungjaya, lewat terus ke  Kadampit, belok kiri samping Mesjid Al-Karimah Lepa Kadudampit, tiba di rumah bada Maghrib.

 

Dibuat oleh: Iman Nurahman, M.Pd

Mulai hari Minggu 22 Maret 2020 pukul 10:00, selesai hari Selasa 7 April 2020 pukul 21:17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kegiatan Rojaban di Mesjid Al-Arif

Materi Peringatan Isra Mi'raj 27 Rajab 1445 8 Februari 2024

Kegiatan Musyawarah Ranting Gerakan Pramuka di Cikidang