Survey ke Ciangkrek
Survey
Lokasi SMPN 5 Simpenan, 25 Maret 2018
Melacak Alamat Sekolah
Awalnya
hanya mendengar dari sahabat bahwa penempatan Kepala Sekolah aku di SMPN 5
Simpenan Satu Atap.
Sejak
mendengar nama sekolah ini diam diam aku cari dan googling dimana sih sekolah
itu. Terjawab juga dimana letaknya, siapa kepseknya, berapa jumlah peserta
didiknya, yang mengajar berapa orang jumlahhya karena yang muncul jawaban
Google adalah alamat dapodik
sekolah. Setelah terlihat pada gambar dan merupakan foto satelit di google
earth, maka aku rencanakan untuk mengunjungi sekolah itu.
Gambar Sekolah pada Dapodik
Terbayang
seperti apa nanti aku bertugas nun jauh di sana, di tengah foto penuh kehijau
hijauan hanya sedikit foto berwarna coklat, artinya tempat itu berada di tengah
hutan atau ladang yang luas. Cukup berdebar dan berfikir bagaimanakah bisa
sampai di sana. Tetapi ada yang menarik yang aku lihat dari foto satelit, letak
sekolah itu terletak di atas huruf dal
(Arab) dari kata ﻣﺤﻣﺪ (Muhammad), padahal
tulisan kata Muhammad itu di perkampungan Ciangrek adalah merupakan gambar
jalan yang dibuat oleh Google yang kebetulan membentuk mirip kata Muhammad.
Gambar jalan mirip kata muhammad
Satu
kata itulah yang menjadi salah satu motivasi dan keyakinan bahwa ada sesuatu
yang istimewa di daerah di mana SMPN 5 Simpanen Satu Atap berada. Untuk sampai
di tempat ini saya pernah bertanya kepada salah seorang teman yang bertugas di
daerah Simpenan, bagaimana bisa sampai di sini. Beliau memberitahu bahwa jika
mau sampai ke sekolah dengan kendaraan bisa lewat Joglo (adalah nama tempat
yang berada di wilayah Kecamatan Lengkong), jika lewat Bagbagan mobil tidak
bisa lewat katanya. Asyiik dalam hatiku berarti bisa pakai kendaraan nyampai
sekolah.
Sampailah
pada satu waktu yang kebetulan saat itu tidak turun hujan karena di hari hari
biasa sering turun hujan, hari itu adalah hari Minggu tanggal 25 Maret 2018.
Aku berangkat menelusiri perjalanan mulus dari Kadudampit mulai berangkat dari
rumah pukul 5 bada shubuh dan setelah sampai di Cikiray sarapan bubur dulu.
Setelah 15 menit selesai lanjut lagi perjalanan melalui jalan Cikiray kemudian
masuk ke wilayah Gunungguruh melalui
jalan yang dikenal dengan daerah pabrik hasil kerajinan tanah liat seperti
genting dan batu bata yaitu daerah Lio. Jalannya sudah dihotmik tapi ada juga yang sudah mulai
rusak sehingga terdapat lubang lubang kecil yang berair. Lanjut perjalanan
dengan kecepatan 40-50 Km/jam sampailah di Kecamatan Baros dan lewat lagi
Kecamatan Gunungguruh.
Sarapan Bubur di Cikiray
Sesampai di Panggeleseran aku belok kiri ke arah Jampangtengah dengan maksud
ingin mencapai Joglo segera. Awalnya
jalan yang dilewati bagus hotmik mulus tetapi setelah lewat belokan sekitar 2
km dari Penggeleseran jalan berlubang dan berair juga terulang
lagi. Alhamdulillah sambung lagi
jalan cor yang tampak lebih bagus dan kuat dari jalan hotmik sebelumnya,
kemudian belok kiri ke arah Padabeunghar lewat jembatan yang terdapat jalan lebar
banyak diinjak kendaraan proyek yang memecah jalan menjadi bergelombang dan
melepas batu batu terpasang.
Perjalanan lebih dari 1 jam 30 menit dari rumah, bergumam dalam hati “begini beratnya
mencapai tempat tugas di sana”. “Bagaimana nanti sampai di tempat tugas dengan cepat dan tepat
waktu jika medan berat begini”. Akhirnya setelah melewati jalan berbelok,
berlubang dan sebagian urug sampailah di pusat kota Bojonglopang, lihat penunjuk jalan kemana ke arah Sagaranten dan
kemana ke arah Lengkong. Aku meyakinkan bertanya kepada petugas di pos depan
pasar dan pertigaan kalau ke Lengkong ke arah lurus kemudian belok kanan.
Jawabannya “iya, 20 km Pa ka Lengkong”. “hatur nuhun”, jawabku. Ku berpikir 20
km itu sama dengan jarak Cineam-Tasik bisa dicapai dengan waktu 45 menit dengan
kendaraan. Lanjut lagi bersepeda motor Yamaha Mio Z aku telusuri dengan
kecepatan standar yang biasa, aku tancap gas. Jalan bagus, sekali kali ada kerusakan berlobang, harus hati hati
karena kadang berlomba kencang dengan angkutan umum elf jurusan
Lembursitu-Surade, ada nanjak ada turun ada kelokan tajam, cekung dan cembung
itu jalan. Sampailah di pusat kota Lengkong, “oh ini SMPN 1 Lengkong itu, teman
sahabat pernah bertugas di sini”.
Jalan Lengkong, elf dari Lembursitu ke Surade
SMP
Negeri 1 Lengkong terlewat, sampailah di pertigaan dekat Polsek Lengkong, ku
bertanya kepada seorang Ibu tentang arah ke Joglo yang mana. “Lurus Pa teras
kin aya ngalangkung pudunan” katanya. Aku berbalik arah dan belok kiri ke arah
Joglo. Sebelumnya aku pernah bertanya pula kepada seorang Bapak bapak tentang
kemana ke arah Joglo. Beliau memberi petunjuk terus ikuti lurus, 15 Km lagi
dari arah Lengkong. Arah ke Joglo dari Jampangtengah adalah persis searah
dengan jalan yang dilalui angkutan umum untuk mencapai Jampangkulon dan
Surade yang setelah sampai di Kiaradua
menuju ke arah kiri.
Untuk
mencapai Joglo dari Jampangtengah lumayan menguras tenaga dan karena pertama
kali perjalanan harus banyak bertanya. Joglo itu adalah nama tempat yang menjadi
muara dari tiga jalan yang bertemu, dari arah Surade, dari arah Sukabumi dan
dari arah Jogjogan (Jalan
dari Joglo ke lokasi) sekolah cukup
lumayan jauh.
Aku
berhenti di warungkopi tepat setelah sampai di Joglo, langsung pesen segelas
kopi mocacino, kemudian ambil roti dan kacang sebagai santapan pengganjal perut
sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang dituju. Aku bertanya ke tukang
kopi tentang jalan ini untuk mencapai ke SMPN 5 Simpenan. Tapi tukang kopi
menjawab ketus kurang bersahabat. Dalam hati bergumam “beginikah ya karakter
orang selatan, ada orang nanya malah ketus”. Beliau menjawab, “Pa, pami bade ka
Simpenan mah lebetna kedah ti Simpenan ti dieu mah teu terang, Bapa lepat
kedahna lebet ti Bagbagan”. Hatiku kesal (jauh jauh dari Kadudampit mendapat
dikte menyalahkan perjalanan yang sudah dilalui) dan menjawab, “numawi Pa anu
ngawartosanana nu raos mah ti dieu saurna caket”. Sifat ketusnya entah karena dia punya sepeda
motor baru, baru seminggu matic Honda vario cicilan yang telah bertabtrakan
oleh anaknya, terlihat waktu itu dia memegang dashboard nya yang melonggar, dan
berbicara kepada temannya yang ada di
situ.
Setelah
aku bayar dan merasa gagal berdiplomasi dengan tukang kopi untuk mendapatkan
informasi jelas tentang alamat sekolah yang akan aku tuju, akhirnya aku pindah
duduk pura pura ikut meneduh di barung Pangkalan ojeg tepat di pinggir jalan
masih satu sisi dengan warung kopi tadi. Ku bersalaman dan kemudian duduk
dengan dua orang tukang ojeg, mereka kelihatan agak bengong kedatangan orang
baru yang tak dikenal, akhirnya aku memperkenalkan diri bahwa aku datang dari
Kadudampit. Awalnya dua orang ojeg kurang respon kedatanganku, tetapi tiba tiba
datang seorang tukang ojeg lagi yang kelihatan lebih montok tetapi berbahasa
lebih halus, lancar dan bisa menyesuaikan bagaimana berbicara dengan orang baru
yang datang dari luar.
Setelah
saya dipersilakan duduk kembali oleh yang montok itu, saya mulai berbicara
bahwa kedatangan ke Joglo adalah akan melakukan survey buat off road untuk
perjalanan yang bisa melewati SMPN 5 Simpenan. Tukang ojeg yang montok itu
sebut saja Kang M, mulai melihat serius ke wajahku dan melihat sepeda motorku.
Kemudian bertanya, “Bapa teh bade kamana? Ka palih mana bade ngalangkungna, ku
abdi kaemut pami ti dieu mah lebet jalan itu awon Pa sareng tebih”. Saya
mengernyitkan mata sembari berfikir, “kok dari Joglo yang dibilang lebih dekat
masih dibilang jauh ya”. Dia bertanya lagi, “Pak punten nyandak gambar petana
teu Pa?”. “Aya” saya bilang. Setelah dibuka peta dia terperanjat dan menunjuk
nunjuk peta karena jalur off road mau melalui perkampungan yang sulit ditempuh,
hanya bisa dengan sepeda motor tinggi. “Bapa bade ngalangkung ka dinya nganggo
motor ieu? Abdi mah sanes ngaalitkeun manah Bapa, moal dugi Pa ku motor kitu
mah. Anu tiasa oge handapanana sok dibukaan heula nembe tiasa dugi”. Katanya. Saya merenung, kok orang seolah olah tidak
mendukung rencana perjalananku ya. Apa dia mau terlibat dalam perjalananku ini.
Istirahat di Joglo
Akhirnya
aku jelaskan dengan jelas bahwa perjalanan ke jalur yang akan dilalui ini
adalah bukan untuk survey jalur offroad tetapi bahwa aku mendapat kabar akan
ditempatkan di SMPN 5 Simpenan Satu Atap untuk memimpin. Setelah jelas maksudku
akhirnya Kang M mulai faham dan menceritakan bahwa katanya kalau tidak salah
awalnya yang akan ke sana adalah Ibu E dari Cigaru, kebetulah Kang M kenal
dekat dengan suaminya Bapa A (ternyata di kenal dengan keluarga Ibu E, teman
waktu tes Kepala Sekolah bersama-sama). Setelah komunikasi jelas tujuan yang
sebenarnya, mulai Kang M menceritakan tentang jauhnya jalan ke sana, manurutnya
perjalanan lebih dari 7 Km. Aku mulai terbelalak, “bagaimana nanti tugas di
sana kalau harus menempuh jalan yang begitu berat dan jauh, bagaimana bisa tepat
waktu datang?”
Kang
M melihat lagi peta, “Tah ieu teh sakola di Ciangkrek, di lemburna Kentung, kan
manehna kokolotna oge.” Begitu berbicara kepada dua temannya. Sebelum ada
keputusan bagaimana aku bisa lewat ke sana aku minta berfoto dulu dengan mereka
tukang ojeg di barung itu. Baru berbicara teknik bisa sampai di SMPN 5 Simpenan
Satu Atap. Setelah berdiskusi akhirnya Kang M siap mengantar menelusuri jalan
yang sulit dilewati oleh sepeda motor. Mio Z ku dititip di pangkalan ojeg,
kebetulan tempatnya berdampingan dengan warung kopi tadi, dan aku juga sekalian
menitipkan ke pemilik warung kopi itu.
Mulailah
perjalanan, awalnya melewati jalan aspal dan lebar karena truk angkutan juga
bisa lewat. Habis penghujung jalan aspal sambung jalan masih bebatuan sebesar
besar kelapa berbentuk lonjong, bulat, pipih dan runcing runcing. Terbayang
kalau pakai Mio Z pasti tidak enak lah, Kang M memakai sepeda motor bebek Honda
tahun 2002 (pernah aku Tanya motornya tahun berapa). Karena sudah biasa
memakainya dia enjoy saja, berpenampilan pakai jacket krem, bertopi, bercelana
pendek (kolor) dan sandal jepit swallow. Kecepatan awal cukup tinggi tetapi pas
menginjak jalan berbatu mulai mengendur, tiba tiba kendaraan terasa berat, ban
kempis dan masuk dulu tambal ban, tambah angin, karena berdua di motor jadi
beban lebih berat. Aku bayar 2000 rupiah buat tambah anginnya.
Jalan aspal sudah jelek dan batu dari arah Joglo
Di
perjalanan Kang M berbicara meratapi nasibnya hanya menjadi tukang ojeg. “Ah
abdi mah Pa sakola teh teu dugi ka luhur sapertos Ibu E, kumaha da sepuh mung
mampu dugi ka SMP ngabiayaan, mung dugi ka janten tukang ojeg” keluhnya. Aku
tersentak ya suka ada orang yang berbicara tentang kehidupan pribadinya, pahit
dan manis hidupnya terungkap. Nggak terasa setelah mendengar cerita keluhannya
itu mata sedikit terhalang, Kristal bening pada mataku terasa dingin tertiup
angina. Aku piker betul juga nasibku jauh lebih baik dari dia yang hanya
sebagai tukang ojeg. Aku jawab sembari menelan ludah,”ah Kang da kadang kadang
nasib jalmi teu sami, tos aya kadarna, nu penting urang tiasa syukur ka Nu Maha
Agung, sanoas Akang teun janten sapertos nu sanes oge tetep bakal gaduh peran
anu penting, buktosna abdi ayeuna abdi tiasa tepang, bade ka SMPN 5 Simpenan
dianteur ku Akang. Kadang kadang urang upami mengeluh bae nasib mah tungtungna
moal tiasa syukur, da aya sababna apan urang teu sukses sapertos nu sanes teh”.
Pada
perjalanan di atas batu koral yang kasar setelah melewati sebuah jembatan tiba
tiba naik dan ditemukan ada keramaian, rupanya sedang hajat pernikahan. Alunan
musik dangdut kedengaran lengkap dengan penyanyinya, orang orang berlalu lalang
memenuhi undangan. Ternyata walaupun di tempat yang jauh dari keramaian kota
kegiatan hajatan pernikahan cukup meriah.
Perjalanan
berlanjut nyambung ke jalan yang masih baru dilapis aspal lebarnya hanya
sekitar 5 meter tapi tidak lama langsung sambung lagi jalan bebatuan. Setelah
sekian jauh perjalanan tiba tiba Kang M membelokkan motornya ke kiri dan masuk
jalan tanah merah perkebunan teh rupanya dia ambil jalan pintas, untung tidak
turun hujan, berpapasan dengan seorang pedagang gorengan pikul. Mulai terlihat
luas hamparan perkebunan dan nun jauh di sana banyak puncak puncak bukit
berwarna hijau kebiruan. Sampai di suatu tempat yang agak ramai di situ Kang M
bilang, “Pa ieu SMPN 3 Lengkong”. Jawab saya “oh”. Sempet berhenti melihat ke
halaman dan bangunannya. Karena cuaca cukup panas akhirnya perjalanan lanjut
lagi.
Jalan aspal sebelum Cieurih
Jalan Merah Perkebunan Teh
Setelah
lewat SMPN 3 Lengkong (sekarang jelas bahwa sekolah itu adalah SMPN 3 Lengkong
Satu Atap) berlanjut lagi jalan naik turun dan pada pelataran yang rata di
pinggiran jalan ada lapang cukup luas, rupanya tempat kegiatan masyarakat daerah
yang dikenal dengan nama lembur Cieurih.
Dari
Cieurih perjalanan mulai agak turun melewati jalan kecil tidak berbatu hanya
bercadas dan berair sampai di suatu tempat berhenti dulu sembari melihat bukit
bukit yang akan dilalui untuk mencapai tujuan. Aku bilang kepada Kang M, “Kang
ieu perjalanan meni kieu kumaha dugina ka tempat tugas bangunna ieu mah mapahna
oge dua jam nembe dugi ka sakola”. “Muhun Pa abot medanna di dieu mah anggap we
Pa etang etang di Irian Jaya,” katanya. “Muhun Kang, ieu mah kedah nganggo
helicopter sapados enggal dugi,” aku gumam. Kang M tertawa. Aku berpikir
bagaimana nanti tugas berjalan begitu jauh, badan kena panas, baju basah
keringat, bagaimana wibawa seorang Kepala Sekolah dipertaruhkan kalau medan
seperti ini.
Jalan turun dari Cieurih
Setelah
lewat Jalan turun terjal berair dan berbatuan lanjut lagi, aku berbonceng naik sepeda motor, karena
mulai turun yang terjal, maka handle jok aku pegang erat erat, sesekali jalan
tanah saja, sesekali campur batu batu sebesar kepalan tangan orang dewasa dan
sesekali berair. Sampai di suatu turunan terdengar dari bawah sana suara sepeda
motor yang sedang naik mendeakt, lajunya tidak cepat karena nanjak dan habis
hujan. Telihat motor penuh dengan tanah dan lumpur. Sempet berbincang bincang
dulu, rupanya kang M kenal dengan orang itu. Kabarnya dia naik dari Ciangkrek.
Hatiku gembira karena artinya tempat tujuan sudah semakin dekat.
Bincang bincang dengan orang yang datang dari
Ciangkrek
Pemandangan di Cieurih
Lanjut
turun lagi menuju tempat yang lebih bawah dari sebelumnya, masih terlihat bukit
bukit dengan puncaknya, kemudian masuk tempat daerah yang turunannya agak
landai tetapi tanahnya merah dan berlumpur, tiba tiba terdengar suara rombongan sepeda motor trail,
Team offroad dari Palabuhanratu rupanya menelusuri jalan tanah bebatuan yang
dilewatiku sebelumnya. Ada sepuluh sepeda motor yang bergabung dengan team itu.
Ada dua motor yang tidak mulus menelusuri jalan merah dan licin itu. Kedua
motor itu yang satu mati mesin dan yang satu lagi terguling di tempat yang
miring. Tetapi karena team memiliki rasa solidaritas yang tinggi maka dengan
segera dapat diatasi.
Rombongan Trail Bertemu Saat Survey
Jalan dari Cieurih yang dilewati oleh team offroad
Perjalanan
lanjut lagi sampailah kepada suara mesin yang menderu. Rupanya mesin Ini adalah
Penggilingan padi. Kang M bicara:”Bapak ieu teh mesin penggilangan padi teh
kagungan Pa Kadus Pa Kentung, Bapa pami bade tugas di dieu kedah cakat sareng
Pa Kadus. Dalam hati berfikir, di tempat jauh ini ada mesin penggiling padi
artinya masyarakatnya cukup banyak dan punya hasil dari alam berupa padi yang
melimpah. Setelah lewat penggilingan sampailah ke sudut lapang yang merupakan
halaman sekolah. Aku langsung dengan Kang M menuju halaman warung sebelah atas
lapang ke arah Barat (araha perkiraan pada saat pertama kali Ciangkrek),
membeli makanan ringan dan kopi hangat. Sampai di situ tepat dengan bunyinya
suara adzan dhuhur di masjid.
Setelah
bincang bincang dengan orang warung, kebetulan ada seorang pemuda di situ,
bercerita bahwa biasa suka ada yang ngontrol dari Dinas memang menggunakan
jalan dari atas dari arah Cieurih. Untuk melengkapi bukti dan kenangan aku
pernah datang ke halaman sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap, sudah biasa tatkala
aku ada di tempat baru suka mengambil gambar (foto sekolah).
Kesan
sampai di sekitar sekolah cukup kumuh kurang terpelihara padahal bangunan bagus
dan halaman cukup luas. Menurut pemuda tadi bahwa kalau samen dan Agustusan di
lapang itu ramai dengan kegiatan pemuda dan masyarakat bahkan pertunjukan
wayang golek juga suka dipertontonkan. Pada saat kegiatan lebaran aktifitas
orang cukup banyak karena para pemuda banyak yang bekerja di luar kota ada yang
di Jakarta juga. Pada saat lebaran meraka pada mudik.
Perjalanan
dari Joglo sampai lapang halaman sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap ditempuh
hampir dua jam, cuaca panas, jalan becek, licin dan bebatuan, badan berkeringat
tembus ke baju dan jacket. Kang M kelihatan dengan wajah bertopi coklat
kehitaman bercucuran keringat. Rambut beberapa helai ke luar dari topinya
seperti telah dicelup ke dalam air. Aku ingin buang air kecil waktu itu mencari
toilet ke belakang warung. Ada kolam kecil dan airnya mengalir ke dalam ember
kecil dari selang sebesar jari manis mungkin ukuran 3/8, jernih rupanya air
dari gunung, tapi kolamnya masih kumuh belum permanen, alas cuci piring masih
terbuat dari belahan dan potongan bambo. Ku jongkok di situ, susah karena
keringat masih nempel di celana dan kaos dalam. Selesai bersuci kembali ke
halaman warung lagi lanjut cicipi makanan ringan dan setelah selesai aku bayar.
Foto lingkungan dan halaman SMPN 5 Simpenan Satu Atap
Selesai
melihat lihat lokasi sekolah dan bincang bincang di warung kemudian Kang M
mengajak: “Pa urang teraskeun we nganggo jalan Bagbagan”. “Mangga hayu”
jawabku. Semangat dan yaqin akan lancar karena setelah melihat jalan dari
halaman sekolah turun ke arah kali lebih baik dari jalan dari Cieurih menuju
sekolah. Jalannya sudah ditembok sebagian dan ada babatuan yang baru dipasang
di atas tanah.
Sebelum
meninggalkan warung itu, pemuda bercerita bahwa jalan ke sini (Ciangkrek) yang
enak dari arah Bagbagan tetapi tidak bisa dengan kendaraan roda empat. Sama
seperti dari Cieurih hanya sampai pinggir lapang, selanjutnya sejauh 3,5 Km ke
Ciangkrek jalan tanah. Kang M mengajak lagi: “Hayu Pa ah bilih kabujeng turun
hujan, kin leueur lungsurna mengkening tebih keneh.” “Hayu”, jawabku sambil
membetulkan tali tas kecil ke pundak.
Sepeda
motor dinyalakan, aku naik duduk di belakang, kemudian pamit kepada orang orang
yang ada di warung. Sebelum belok kiri ke arah jalan yang turun melewati
halaman SD Pasirjambu, kulihat dulu itu sekolah SMPN 5 Simpenan Satu Atap,
sudah ada nomor gudepnya artinya
kegiatan pramukanya aktif. Jalan turun dari sekolah cukup menegangkan, jalan
tembok yang belum selesai sempurna masih bersambung dengan jalan batu yang
disusun lebih rapi. Melewati pinggiran tebing tinggi yang banyak bebatuan besar
menikung tajam 90° hanya dengan lebar 60 cm membuat berdebar jantung, jika
sepeda motor tidak stabil remnya bisa terperosok ke semak semak dan jatuh ke
jurang. Kemiringan jalan lebih dari 30° ada sekitar 13 belokan tajam dangan
jarak rata rata 40 m, semakin bawah semakin tepikir akan kemana arah jalan ini.
Ada belokan ke kanan turun dengan tajam terasa badan semakin depan bergeser
menempel di punggung Kang M, kalau sebelumnya yang dilewati tempat sunyi tidak
ada rumah maka disini melewati tempat yang cukup padat dengan rumah rumah.
Sepeda masih turun dan menuruni jalan yang lebih turun lagi, kemudian rata
sedikit dan berbelok kanan lagi kemudian telusuri jalan bebatuan yang telah
dipecah dan ditata rapi pada tanah selebar 80 cm, ku berfikir kenapa lebih
lebar, ternyata jalan itu kemudian berbelok kiri dan berbelok lagi lebih tajam
dan turun lebih dari sekedar membentuk huruf U bahkan campur air yang mengalir
mengikuti bagian tengah jalan yang mulai mencekung. Terkejut juga karena
tikungan dan turunan itu tepat berada di atas sungai yang berair keruh karena
hari setelah hujan.
Jalan turun yang menukik dari sekolah
Selesai
lewati jalan yang turun, tantangan yang lebih berat di depan harus melewati
jembatan gantung yang alasnya papan nampak sudah sering digonta ganti karena
patah atau lapuk. Kang M minta aku turun, dan memang aku juga mau turun karena
mau lewat jembatan yang nampak sudah tua. Kang M melaju dengan tangan sebelah
kanan pegang gas dan yang kiri pegang gantungan jembatan, bisa karena nampak
nya lebar jembatan lebih dari 1 m. Ku perhatikan Kang M, sebentar laju sebentar
berhenti, beberapa kali seperti itu disertai dengan goyangan jembatan. Aku
belum berani nyeberang karena mau tuntaskan dulu lihat nyebrangnya ojeg.
Setelah itu baru aku berani nyebrang, ayunan jembatan terasa, lubang lubang
pada lantai kelihatan karena sambungan kayu yang tidak rata dan agak jarang,
air keruh dan bebatuan nampak jelas pada sungai.
Jembatan gantung Sungai Cibunut
Kang
M menunggu di ujung jembatan. Setelah sampai di ujung, aku disilakan naik dan
langsung nanjak lagi dan belok kiri, jalan bebatuan yang terpasang sebesar
besar kepala, melihat ke pinggir kiri sungguh mengerikan karena hanya dengan
lebar jalan cukup satu sepeda motor tetapi jurang yang dalam sepanjang
pinggiran sungai, batu batu sebesar minibus tampak jelas. Belok kanan dan
nanjak belum berhenti, sambung jalan lebar 80 cm berbatu hitam dan putih tidak
serapi jalan sebelum nyeberang jembatan, nanjak di pinggir kiri dan kanan padi
yang mulai berbuah, sampailah ke tempat dimana rasa teduh dan udara segar
didapat karena di bawah tebing tinggi yang pohonnya masih utuh.
Jalan nanjak berbatu dan tanah
Masih
lanjut dengan jalan bebatuan campur tanah merah, lumayan tapi sudah mulai
mongering, melewati kelokan kelokan tajam, lintasi sungai sungai kecil
melintang ke jalan yang mengalir jernih airnya sampailah ke tikungan tajam ke
arah kanan naik dengan gradient lumayan tinggi, jalannya tanah merah yang penuh
bekas ban sepada motor yang telah mengeruknya. Tapi menarik di sini, luat
Simpenan dan teluk Palabuhanratu kelihatan jelas. “Kang Kang, ureun heula ah
itu laut katingali hoyong difoto.” Pintaku kepada Kang M. Dia jawab: “Kin Pa di
payun langkung jelas”.
Berhenti
di puncak jalan yang rata betul saja dari sini kelihatan laut yang luas. Berfoto
di Pasir Lengking Guling Munding (nama
tempatnya). Aku spontan potret tuh pemandangan, indahnya terhampar lautan ada
di balik ranting ranting pohoh dan dedaunan. Kemudian ku minta Kang M memotret
ku sendiri, dan dia lakukan. Aku cek hasilna, cukup bagus dan jelas.
Berfoose di Gulingmunding
Lanjut
lagi perjalanan menelusuri jalan seperti semula bebatuan dan campur tanah merah
di bawah tebing tinggi, teduh karena matahari terhalangi pohoh pohon tinggi.
Tiba tiba kelihatan dari kejauhan ada orangtua bertopi membawa sesuatu. Setelah
sampai di depan orangtua itu Kang M berhenti dulu kemudian mengambil uang dan
diberikan kepadanya. Rupanya orang itu adalah sedang bekerja betulin jalan
supaya lebih bersih dan rapi. “Di dieu mah Pa biasa sok aya anu nyungkeun
sumbangan kanggo ngalereskeun jalan”. Kata Kang M. “Muhun”, jawabku. Sempet
kang M dan orangtua itu berbincang bincang, rupanya mereka sudah kenal
sebelumnya.
Jalan pinggiran bukit yang kena urug
Lanjut
perjalanan melewati jalan yang agak gersang karena panas, jalan biasa bebatuan
dan berlumpur, di sebelah kiri dan kanan tampak jurang begitu dalam. Sampai di
suatu tempat yang di pinggirnya lebih tinggi, banyak orang yang sedang memukul
mukul pagi, rupanya mereka senang panen padi. Kang M berbicara: “Pa di dieu mah
sok ngaharuma janten beasna hasil ngahuma”. “Oh muhun mata pencaharianana nya”.
Jawabku sembari merenung, mendengar budaya ngahuma itu dulu waktu belajar di
SD, sekarang lihat langsung di sini.
Setelah
lewati jalan di samping orang berhuma lanjut perjalanan menelusuri jalan
berkoral batu putih yang dipasang kuat pada tanah tetapi tidak rapi, runcing
runcing permukaannya, khawatir bisa bisa ban meletus karena tertusuk batu
tajam. Lumayan susunan bebatuan ini cukup panjang 50 m lebih selanjutnya
bebatuan hitam lagi yang turun menikung juga. Di tempat yang rata saat kami
enjoy di punggung bukit tiba tiba ada sepeda motor RX King nyalib, sempet
terkejut karena di jalan yang seperti itu ada juga yang bisa nyalip, setelah
dilihat ternyata yang bawanya anak muda.
PerjaJalan
panas maklum tiga perempat jam yang lalu baru waktu dhuhur sekarang giliran lewati
jalan terjal bebatuan menanjak kemudian turun lagi sambung jalan coran yang
sudah mulai rusak, bahkan ada yang patah cornya terpisah habis karena terbawa
hanyut, mau tidak mau jalan seperti harus dilewati karena tidak ada lagi jalan
yang terdekat, lewati jalan bercor sambung jalan bebatuan, menikung ke sebelah
kanan di bawahnya air jernih mengalir melalui parit yang memotong jalan.
Sambung jalan yang kena bekas urug dari tebing, tanahnya coklat kemerahan
berair pula. Saat menuruni jalan itu hati berdebar takut jatuh terperosok ke
jurang, handle jok dipegang kuat, badan bergeser ke depan karena gaya tarik
bumi. Kelihatan di sebrang jauh dinding bukit bukit artinya perjalananku ini
juga ada di dinding bukit.
Jalan turun
Sampai
di jalan yang turun dan licin, aku diminta turun dulu oleh Kang M. “Pa lungsur
heula, leueur ning”, pintanya. Tidak susah buat turun, aku jawab “muhun”. Kang
M laju duluan ke bawah aku mengikuti jalan kaki sembari pegang celana ditarik
ke atas sedikit supaya ujungnya tidak menyentuh tanah. Setelah lewat yang becek
dan licin naik lagi dan lanjutkan perjalanan, lumayan lama juga menelusuri
jalan turun, kesal dan menegangkan ditambah banyak lubang sehingga badan sering
dibawa anjlok dengan kedalaman 5-15 cm
karena coran rusak. Ada jalan cor turun yang panjang dan menikung mula
mula ke kanan kemudian ke kiri, tetapi setelah di bawah sambung jalan tanah
merah, harus hati hati melaluinya.
Pada
saat jalan mulai merata perjalanan melewati jalan teduh karena di kiri dan
kanan banyak pohon jati (dikenal jabon), lumayan buat berteduh dan istirahat
sejenak bisa, tetapi karena takut segera turun hujan istirahat di tempat itu
tidak sempat. Setelah melewati jalan becek giliran lewati jalan yang teduh ada
barungnya tetapi jalannya sangat kasar karena bebatuan yang terpasang tidak
begitu rapi sepanjang jalan rupanya bebatuan yang dipasang tidak pernah
digiling dengan stoom. Di tempat yang sangat sunyi dilewati jalan yang dilalui
aliran sungai, airnya besar dan jernih,
sempat turun dulu bareng sama Kang M untuk menenggelamkan dulu kaki dan sandal
agar lumpur tebalnya hanyut.
Alhamdulillah
selesai melewati jalan turun dan bebatuan sekarang baru belok kiri dan menemukan
jalan hitam yang telah diaspal melewati rumah penduduk. Lumayan jalan sedikit
rapi dan lebar nampaknya kendaraan roda empat bisa lewat di sini. Panjang dan kulak kelok juga ni jalan, ada beberapa
warugn kecil yang dilewati, kemudin berbelok kanan Lewati jalan gang. Kang M
berbicara: “Pa ieu tah SMPN 3 Simpenan”. “Oh muhun”, jawabku. Kemudian jalan
turun dan belok kiri, sampailah di jalan yang lebih lebar dari tadi, nampaknya
kalau di sini truck juga bisa masuk.
Jalan di samping SMPN 3 Simpenan
Jalan
baru yang dilewati ini melewati rumah penduduk, ukuran rumahnya nampak besar
besar, sebagian ada yang memiliki gasari ada juga yang memiliki kolam di
halamannya. Jalannya lebar pernah diaspal hanya kondisi sekarang sudah mulai
hancur, sekali kali lewat jalan bebatuan, sekali kali lewat jalan corran dan
jalan berlumpur. Cukup lama dan kesal juga menelusuri ini jalan, tiba tiba kang
M memberitahu: “Pa itu walungan Cimandiri”. Jawabku, “oh itu the, meni beureumnya
caina”. “Nuju ageung Pa caina”, jawabnya.
Sungai Cimandiri lagi pasang
Lewat
jalan sepanjang pinggiran Sungai Cimandiri, itu sungai kadang menjauh kadang
mendekat, bahkan aku dan Kang M harus menuruni sungai yang mengalir ke
Cimandiri karena tidak ada jembatan, sengaja ini sungai pinggirannya dibuat landai
supaya kendaraan bisa melewatinya. Tidak sulit melewati ini muara sungai tetapi
harus hati hati, karena ban sebagian tenggelam karena aliran sungai bahkan kaki
Kang M sengaja ditenggelamkan sembari membuang lumpur dari sandalnya. Sungai
yang dilewati ini airnya jernih dasarnya batu batu kali yang telah dirapikan
supaya tidak mengganjal saat ban kendaraan melewatinya.
Selesai
naik dari sungai kecil masih berlanjut jalan lewati penggiran sungai Cimandiri
sambung dengan jalan yang penuh dengan pecahan batu yang melimpah ternyata ini
jalan melewati pinggiran sungai yang jadi parkiran kendaraan pengangkut pasir
yang diambil dari sunga Cimandiri. Area luas dimana ada alat berat yang
mengangkat batu kali dipindahkan ke mesin pemecah sehingga menjadi pecahan batu
kadil buat bahan bangunan campuran cor harus dilewati untuk segera ke luar dari
pinggiran sungai Cimandiri.
Tibalah
saatnya berlanjut dengan jalan hotmix yang mulus, lancar dan laju sepeda motor
lebih kencang dari selama perjalanan sebelumnya. Jalan lebar lebih dari lima
meter, kendaraan beroda dua dan empat, bahkan truk juga ada. “Tah ieu jalan
Mariuk Pa,”. Kang M bilang. “Muhun Kang, raoseun ngageleser.” Jawabku karena
pikiran ku membandingkan dengan jalan berat yang telah dilewati tadi. “Kin Pa
ti dieu belok kiri ka Kiaradua”. Sambungnya. “Muhun hayu, tapi kedah milari
heula rumah makan, urang emam heula lapar.” Saranku. “Muhun Pa sami abdi oge
lapar.” Keluhnya. Setelah di penghujung jalan, berbeloklah ke arah kiri menuju
Kiaradua.
Jalan hotmik Mariuk
Perjalanan
ke arah Kiaradua cukup lancar karena jalan lebar, bagus walaupun banyak
belokan, perjalanan diercepat karena mau cari warung buat makan, agak susah
cari rumah makan, akhirnya sampailah di suatu tempat tukang sate. Kami berdua
pesan sate masing masing 10 tusuk. Sembari menunggu mateng dari pembakaran kami
berbincang perjalanan. “tabuh sabaraha ayeuna Pa.”T anya kang M. “Tabuh
satengah dua Kang,” Jawabku. “Oh berarti dua jam kirang Pa nya ti luhur ka
dieu.” “Muhun, tebih nya sabaraha kilo nya?” Sahutku. “Ayeuna pami ti Ciangkrek
ka Cibuntu 7 Km, CIbuntu ka dieu 8 Km, 15 Km Pa”. Sambungnya. “Wuih lumayan
nya.” Kataku sambil ambil saputangan dan kemudian mengelap muka, terasa ringan
mukaku dan perasaan lebih segar, ku lihat saputangan bekas muka basah dan
bercampur kotor akibat debu yang nempel di muka. “Pami ti dieu ka Joglo
sabaraha jam deui tah Kang? Tanyaku. “Kiranglangkung sajam Pa.” Jawabnya.
“Tabuh tuli dugi nya?” “In sha Allah Pa,” sambungnya. Aku lihat wajah Kang M,
kelihatan berkeringat juga dengan warna sawomatang kehitaman akibat sinar
matahari karena parjalanan yang jauh.
Makan siang di warung sate
Setelah
selesai bakar sate langsung yang punya warung, menyajikannya pada dua buah
piring, tambah sambal dan acarnya, disiapkan juga dua kantong kerupuk dan
sebakul nasi hangat. Lahap juga aku dan Kang M makan siang karena habis
menembus perjalanan yang sangat jauh dari puncak bukit, turun bukit, dan
sampailah di bawah sekitar laut Simpenan. Perkiraan jalan yang telah dilalui
adalah 30 Km mulai Joglo sampai di sini makan sate.
Jalan ke Kiaradua
Selesai
makan lanjut lagi perjalanan, kelokan kelokan tajam dan jalan sunyi dilewati
sampai di suatu tempat Kang M tahu bahwa sepeda motor akan kehabisan bensinnya.
“Kunaon kang?” Tanyaku sembari merasakan sepeda motor lajunya sedikit
tersendat-sendat. “Ieu bensin bade seep,” Katanya. “Oh kumaha atuh?” Tanyaku
sambil berfikir, kalau betul habis bensin harus jalan kaki tidak tahu berapa
jauh? Tapi dia jawab, “caket da Pa tah di payun sakedik deui. “Oh”, sahutku lagi. Tak lama setelah
itu sepeda motor sampai mati mesinnya, tapi untung pas sampai di sebelum tempat
jualan bensin kurang lebih 15 meter lagi. Jadi aku jalan kaki sedikit.
Istirahat di tukang bensin
Kang
M kemudian memanggil tukang jualan bensin dan membuka bagasi sepada motor untuk
segera diisi. Tiba tiba hujan turun lebat, aku dan Kang M tertahan di tukang
bensin. Aku izin dulu untuk shalat dhuhur dijama dengan ashar. Aku dekati
warung lain di dekat tukang bensin. “Assalaamu A’laikum, Bu tiasa ngiring
netepan?” Salam dan pintaku ke Ibu pemilik warung. “Wa alaikum salam, oh
mangga tiasa Pa, mung pabalatak di dieun
mah. Atuh di handap nya sakantenan abdasna.” Jawabnya. Ibu warung mengajakku
masuk ke ruang bawah, turuni tangga besarnya hanya pas badan ke ruang bawah. Kursi tamu (sofa), kamar dan WC
lengkap dengan dapurnya. Aku ditunjukkan tempat berwudhu nya dan sehelai
sajadah disiapkan. Setelah wudhu langsung aku raih sajadah yang disimpan di
atas sandaran sofa kemudian ku buka dan ku hadapkan ke arah qiblat. Sementara
hujan semakin lebat aku shalat sampai selesai dan memohon kepada Sang Khaliq
akan kemudahan aku dalam perjalanan survey ini.
Selesai
shalat kebetulan hujan tidak selebat tadi, aku pamit untuk melanjutkan
perjalanan, sampai di luar ada pandangan yang membuat tanda tanya. Aku bertanya
kepada kang M, “Kang kunaon jok teu ditutupkeun (jok dibiarkan berdiri) pan
hujan?” “Oh muhun Pa, bilih baseuh kahujanan.” Jawabnya. Aku berfikir dan
bergumam dalam hati, “oh bener ngabelaan kanyamanan panumpang jok teu
ditutupkeun supaya tetep garing, kapikir oge.”
Masih
berteduh tiba tiba datang sebuah sepeda motor dengan dua penumpang mampir
bareng dan bertanya kalau ke Pangandaran masih jauh. Kang M mengecek kedua
penumpang itu, “Timana kitu Kang?” Salah seoran menjawab, “ti Bogor Kang”.
Rupanya mereka orang baru mencoba lintas Selatan dari Bogor mau ke Pangandaran.
Kang M bilang, “Wah Kang panginten dugi ka Pangandaran mah enjing, dugi ka
Cianjur oge mungkin kin wengi tabuh dalapan.” Kedua orang itu kelihatan pada
wajahnya kurang percaya, tapi nampaknya mereka sudah berencana untuk
melanjutkan perjalanan, dan akhirnya mereka lebih dulu berlanjut.
Setelah
hujan tinggal gerimis kecil aku dan Kang M melanjutkan perjalanan. Ku lalui jalan
lebar, mulus dan berhotmik, kelokan kelokan tajam, dengan sepeda motor yang
telah diisi premium. Tenaga dan semangat baru karena telah istirahat dulu maka
sampailah di sekitar SMPN 2 Simpenan. “Pa sakedap deui dugi ka SMPN 2 bade mampir
ka Bu Evi?” Tanyanya. “Oh ki."unya, ah teu kedah isin da can kantenan di
SMPN 5 Simpenan bilih robih,” jawabku. Setelah pas di jalan lurus dengan SMPN 2
Simpenan, Kang M menunjuk. “Tuh Pa itu bumina Bu Evi caket sakola.” “Muhun,”
jawabku. Perjalanan di sekitar SMPN 2 simpenan lumayan agak lurus, tidak
seperti sebelumnya.
Kelokan
kelokan indah, hijau daun teh di sekitar
perkebunan dilalui dengan mulus, tibalah pertigaan di Kiaradua dan aku berbelok
ke kiri. Awalnya jalan rata banyak kelokan dan mulus, tetapi setelah perjalanan
lima menit lebih ada jalan yang berlubang dan berair karena hujan. Kemudian
telusuri jalan yang nanjak dan berbelok seperti huruf Z setelah itu kelokan
biasa ke kanan dan ke kiri, sampailah setelah perjalanan lebih dari 10 menit
dari Kiara dua di terminal ojeg Jogl "o. Segera ku lihat mio z ku, dalam
pikirku, “Alhamdulillah aamaan”. Duduklah bareng di bangku warung bekas tadi
pagi aku duduk saat minum kopi sebelum telusuri keliling pinggiran Simpenan. Aku
buka dompet dan ambil uang 4 lembar 50.000 an buat ongkos, kemudian kuserahkan
Rp 200.000,00, kataku “Kang sakieu nya.” Kang M melihat ke lembaran uang yang
telah aku hitung, kemudian menjawab, “aduh Pa tambihan deui, pan jalanna uninga
nyalira. “Oh kitu.” Aku merenung dan
terpikir, memang perjalanan yang begitu jauh dan melelahkan, perjalanan saat
hujan dan gerimis, rasional juga seandai aku tambah lagi. Akhirnya aku tambah
lagi dua lembar 50.000 an. Aku Tanya, “cekap teu”? Kang M jawab, “Cekap Pa.”
Setelah
bincang bincang bahwa dia Kang M juga punya istri yang berasal dari daerah
Cisaat tepatnya dari Cibaraja merasa hati itu lebih dekat, kok sama sama orang Sukabumi Utara ya dam aku
merasa sudah cukup lah kegiatan survey sekolah hari ini. Jalan yang begitu jauh
telah dilalui, tidak terasa dan tidak sengaja aku telah mengelilingi sebagian
wilayah Simpenan. Perjalanan yang dilewati itu mencapai jarak tidak kurang dari
60 Km, mulai dari Joglo, Cieurih, Cingkrek, Cibuntu, Cidadap, Loji, Kiaradua
sampai kembali ke Joglo. Akhirnya aku pamit, “Nuhun Kang nya tos nganteur
kukurilingan. Untung aya Akang pami teu aya rupina moal dugi ka Ciangkrek.
Sakantenan pamit, abdi bade wangsul ka Kadudampit. Aeh nyungkeun nomor hp,
bilih aya nanaon gampil.” “Mangga Pa, hati hati uihna, ieu nomor Hp abdi,”
sembari mendiktekan nomornya.
Aku
berdiri dan salaman dengan Kang M, kemudian bayar dulu Rp 10.000,00 ongkos
parkir sepeda motor di pangkalan ojeg yang ditinggal selama perjalanan survey.
Aku dekati sepeda motor, di sekeliling tempat parkir banyak orang yang
melihatku, aku cukup senyum saja pada meraka dan bilang “punten”. Melihat jam
tangan ternyata waktu pukul 15:00, terbayang dalam pikirku dengan PD “sampai
Maghrib lah di rumah”. Saat mau menghangatkan sepeda motor ada orang duduk di
barung, aku tanya, “bade kamana Pa?” “Bade ka lebursitu”, beliau jawab. “Hayu
bade ngiring? Abdi oge bade kas Cisaat” ajakku. Beliau menjawab, “Oh tebih ning
Pa, mulih timana kitu? Abdi kaleresan nuju ngantos rerencangan bade kana elf.”
Sambungku, “Oh kitu, abdi wangsul ti Ciangrek, tipayun atuh nya, mangga”.
“Mangga Pa hati hati,” sambil kelihatan mengernyitkan kening keheranan tetapi
beliau masih meperlihtkan gigi rapinya ketawa.
Pulanglah
aku dari Jogla, Alhamdulillah hujan reda, jadi leluasa kendarai Mio Z. Jalan
lurus, kelokan keloka, turunan dan tanjakan ku lalui, SMPN 1 Lengkong dari arah
dan sebrang jalan yang berbeda kelihatan, petigaan dan perempatan banyak
kulewati. Aku kendarai sepeda dengan target sampai di rumah pas tiga waktu
maghrib. Kecepatan standar 40, 50, sampai maksimal 60 km/jam, setelah kecepatan
laju lebih tinggi maka segera kendaraan lain tersusul, jika mungkin ada
kesempatan yang tepat aku salib, harus hati hati karena jalan banyak tikungan
tajam.
Sampailah
di Bojonglopang, ku lurus saja tidak menghiraukan lagi belokan ke arah lain,
bahkan tempat bertanya pun tadi pagi aku lewati saja. Padangbeunghar jalan
masih jelek berbatu dan becek selesai kuinjak belok kanan ke arah Panggeleseran
kemudian masuk ke jalan cor, tiba tiba jelek lagi, hotmik bagus dan sampailah di belokan ke arah kota. Pabrik
semen, cipeundeuy, jembatan cipelang, SMP Baros kulewati, sampailah pinggiran jalan
yang rimbun, di situ ada pangkalan ojeg dan aku berbelok kiri, turun lewati
jembatan kecil. Cuaca semakin sore hamper mendekati maghrib, jembatan panjang
di atas bendungan DAM hanya cukup untuk satu motor, terbuat dari besi, kulewati
dengan PD karena yakin ini jembatan kuat, kemudian turun dan belik kiri, hati
hati sekali karena kalau tidak bisa jatuh terperosok ke sungai buatan yang
dipakai untuk mengaliran air ke pesawahan hasil pembagian dari bendungan.
Pinggiran
dua sungai besar sungai Cipelang dan sungai buatan ku lewati dengan jalan cukup
untuk dua sepeda motor jika berpapasan. Lumayan ada 200 meteran panjangnya,
kemudian belok kanan masuk jalan hotmik, biasa campur lubang berair. Sampailah
di depan Polsek Gunungguruh, aduh polisi polisi tidur agak tinggi jadi harus
rem dulu, kebut lagi SMPN 1 Gununggurh terlewati, pas lewat jalur tunggu orang
yang beri aba aba untuk bisa lurus nyembrang, Alhamdulillah lewat, sampailah di
Sukamantri banyak polisi tidur, terpaksa harus rem dulu. Lanjut lagi lewat rell kerata api
Bogor-Sukabumi kemudian tancap gas dan sepeda semakin kencang.
Semakin
dekat ke pertigaan Gunungguruh dan arah ke Bogor juga ke kota, terasa berat ban
depan, “kunaon ieu”, gumamku. Aku berhenti dulu memastikan ada apa dengan ban
depan? Ternyata udaranya berkurang, kempis. “Aduh, untung geus deukeut ka
lembur, ah ieu mah kudu ditambal.” Sedikit menggerutu aku. Sampailah di tambal
ban dekat SMP PGRI, ku minta ditambalkan ban ke tukangnya. Rupanya sepeda
motorku mopo, kecapaian habis perjalanan jauh telusuri jalan Sukabumi. Tidak
terasa waktu sampai di tukang tambal ban tiba waktu maghrib, terdengar suara
adzan di sekeliling Cikiray. Aku tidak shlat dulu, pikirku tanggung nanti saja
di rumah in sha Allah keburu.
Sambil
menunggu ban selesai ditambal, ada bocor karena tertusuk paku, ku nikmati
sekalian istirahat dari perjalanan jauh, tiga jam berlalu dari aku tinggalkan
Ciangkrek. Tidak begitu lama proses tambal ban, rupanya tukang tambal telah
terbiasa dengan kegiatan rutinnya. Selesai tambal ban aku bayar, “sabaraha
Kang?”, tanyaku. “Ah, sepuluhribu Pa”, jawabnya. Alhamdulillah setelah rapi dan
tas kecil telah digendong rapi, maka aku pulang ke rumahku di Kampung Cijagung
RT 17 RW 05 Desa Gedepangrango Kecamatan Kadudampit-Sukabumi. Ku tancap gas lewat
Jalan Cikiray, belok kiri ke Jalan
Gunungjaya, lewat terus ke Kadampit,
belok kiri samping Mesjid Al-Karimah Lepa Kadudampit, tiba di rumah bada
Maghrib.
Dibuat
oleh: Iman Nurahman, M.Pd
Mulai
hari Minggu 22 Maret 2020 pukul 10:00, selesai hari Selasa 7 April 2020 pukul
21:17
Komentar
Posting Komentar