Ibadah Shoum/Puasa 1445 H
12032024 PUASA
Disalin dari Muhammad Husein
Haikal 1999, 608-611
Puasa
Tidak semua orang sama
kemampuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah. Adakalanya
tubuh kita membebani jiwa kita, sifat materialism kita dapat menekan sifat
kemanusiaan kita, kalau kita tidak melakukan latihan rohani secara tetap, tidak
menghadapkan kalbu kita kepada Allah selama dalam salat kita; dan sudah cukup hanya
dengan tata tertib sembanhyang, seperti ruku’, sujud dan bacaan-bacaan. Oleh karena
itu harus diusahakan sekuat tenaga menghentikan daya tubuh yang terlamau memberatkan
jiwa, sifat meterialisma yang sangat menekan sifat kemanusiaan. Untuk itu Islam
telah mewajibkan puasa sebagai suatu langkah mencapai martabat kebaktian
(takwa) itu seperti dalam firman Tuhan:
“Orang-orang beriman! Kepadamu
telah diwajibkan berpuasa, seperti yang sudah diwajibkan juga kepada mereka
yang sebelum kami, supaya kamu bertakwa – memelihara diri dari kejahatan.”
Bertakwa dan berbuat baik (birr)
itu sama. Yang berbuat baik orang yang bertakwa dan yang berbuat baik ialah
orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab dan para
nabi dan diteruskan dengan ayat yang sudah kita sebutkan.
Kalau tujuan puasa itu supaya tubuh
tidak terlampau memberatkan jiwa, sifat meterialisma kita jangan terlalu
menekan sifat kemanusiaan kita, orang yang menahan diri dari waktu fajar sampai
malam, kemudian susudah itu hanyut dalam berpuas puas dalam kesenangan, berarti
ia sudah mengalihkan tujuan tersebut. Tanpa puasa pun hanyut dalam memuaskan
diri itu sudah sangat merusak, apalagi kalau orang berpuasa, sepanjang hari ia
menahan diri dari segala makanan, minuman dan segala kesenangan, dan bilamana
sudah lewat waktunya ia lalu menyerahkan diri kepada apa saja yang dikiranya di
waktu siang ia tak dapat menikmatinya! Kalau begitu Tuhan jugalah yang
menyaksikan, bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri, mempertinggi sifat kemanusaiaannya,
juga ia berpuasa bukan atas kehendak sendiri karena percaya, bahwa puasa itu
memberi faedah ke dalam rohaninya, tapi ia puasa karena menunaikan suatu
kewajiban, tidak didasari oleh pikirannya sendiri perlunya puasa itu. Ia melihatnya
sebagai suatu kekangan atas kebebasannya, begitu kebebasan itu berakhir pada
malam akhirnya, begitu hanyut ke dalam kesenangan, sebagai ganti puasa yang
telah mengekangnya tadi. Orang yang melakukan ini sama seperti orang tidak mau
mencuri, hanya karena undang-undang melarang pencurian, bukan karen jiwanya
sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan
sendiri pula.
Bukan Suatu Tekanan
Sebenarnya tanggapan
orang mengenai puasa sebagai suatu tekanan atau pencegahan dan pembatasan atas
kebebasan manusia adalah suatu tanggapan yang salah samasekali, yang akhirnya akan
menempatkan fungsi puasa tidak punya arti dan tidak punya tempat lagi. Puasa yang
sebenarnya adalah membersihkan jiwa. Orang berpuasa diharuskan oleh pikiran
kita yang timbul atas kehendak sendiri,
supaya kebebasan kemauan dan kebebasan berpikirnya dapat diperoleh Kembali. Apabila
kedua kebebasan ini sudah diperolehnya Kembali, ia dapat mengangkat ke martabat
yang lebih tinggi, setingkat dengan iman yang sebenarnya kepada Allah. Inilah
yang dimaksud dengan firman Tuhan – setelah bahwa puasa telah diwajibkan kepada
orang-orang beriman sepeti sudah diwajibkan juga kepada orang-orang sebelum
mereka:
“Beberapa
hari sudah ditentukan. Tetapi barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan, maka dapat diperhitungkan pada kesempatan lain. Dan buat
orang-orang yang sangat berat menjalankannya, hendaknya ia membayar fid-yah
dengan memberi makan kepada orang miskin, dan barangsiapa mau mengerjakan kebaikan
atas kemauan sendiri, itu lebih baik buat dia; dan bila kamu berpuasa, itu
lebih baik buat kamu, kalau kamu mengerti.”
Seolah tampak
aneh apa yang saya katakan itu, bahwa dengan puasa kita dapat memperoleh Kembali
kebebasan kemauan dan kebebasan berpikir kalau yang kita maksudkan dengan puasa
dengan segala apa yang baik itu untuk kehidupan rohani kita. Ini memang
tampak aneh, karena dalam bayangan kita bentuk kebebasan ini telah dirusak oleh
pikiran modern, bilamana batas-batas rohani dan mental itu dihancurkan, kemudian
batas-batas kebendaannya dipertahankan, yang oleh seorang prajurit dapat
dilaksanakan dengan pedang undang-undang. Menurut pikiran modern, manusia tidak
bebas dalam hal ia melanda harta atau pribadi orang lain. Akan tetapi ia bebas terhadap
dirinya sendiri sekalipun hal ini sudah melampaui batas-batas segala yang dapat
diterima akal atau dibenarkan oleh kaidah-kaidah moral. Sedang kenyataan dalam
hidup bukan yang demikian. Kenyataannya manusai budak kebiasaannya. Ia sudah
biasa makan di waktu pagi; waktu tengah hari; waktu sore. Kalau dikatakan kepadanya:
makan paga dan sore sajalah, maka ia akan dianggapnya suatu pelanggaran atas
kebebasannya. Padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakan kebiasaannya,
kalau benar ungkapan ungkapan demikian ini. Orang yang sudah biasa merokok
sampai ke batas ia diperbudak oleh kebiasaan merokoknya itu, lalu dikatakan
kepadanya; sehari ini kamu jangan merokok, maka ini dianggapnya suatu pelanggaran
terhadap kebebasannya: Padahal sebenarnya itu tidak lebih adalah pelanggaran
atas perbudakan kebiasaanya. Ada lagi orang yang sudah biasa minum kopi atau teh
atau minuman lain apa saja dalam waktu-waktu tertentu lalu dikatakan kepadanya:
gantilah waktu-waktu itu dengan waktu yang lain, maka pelanggaran atas perbudakan
kebiasaanya itu dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya. Budak kebiasaan
serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuknya
yang sesungguhnya.
Di samping itu,
ini juga merusak cara berpikir sehat, sebab dengan demikian berarti ia telah
ditunjukkan oleh pengaruh hajat jasmani dari segi kebendaannya, yang sudah
dibentuk oleh kebiasaan itu. Oleh karena itu banyak orang yang telah melakukan
puasa dengan cara yang bermacam-macam, yang secara tekun dilakukannya dalam waktu
waktu setiap minggu atau setap bulan. Tetapi Tuhan menghendaki yang lebih mudah
buat manusia dengan diwajibkan kepada mereka berpuasa selama beberapa hari yang
sudah ditentukan, supaya dalam pada itu semua sama, dengan diberikan pula
kesempatan fid-yah. Mereka masing-masing yang telah dibebaskan karena dalam
keadaan sakit atau sedang dalam perjalanan dapat mengganti puasanya itu pada
kesempatan lain.
Kewajiban puasa
selama hari-hari yang sudah ditentukan untuk memperkuat arti persaudaraan dan
persamaan di hadapan Tuhan, sungguh suatu Latihan rohani yang luar biasa. Semua
orang, selama menahan diri sejak fajar hingga malam hari mereka telah melaksanakan
persamaan itu antara sesama mereka, sama halnya seperti dalam sembahyang
jamaah. Dengan persaudaraan demikian selama itu mereka merasakan adanya suatu perasaan
yang mengurangi rasa kelebihan mereka dalam mengecap kenikmatan rezeki yang
diberikan Tuhan kepadanya. Dengan demikian puasa berarti memperkuat arti
kebebesan, persaudaraan dan persamaan dalam jiwa manusia seperti halnya dengan
sembahyang.
Kalau kita menyambut
puasa dengan kamauan sendiri dengan penuh kesadaran bahwa perintah Tuhan tak
mungkin bertentangan dengan cara-cara berpikir yang sehat, yang telah dapat
memahami tujuan hidup dalam bentuknya yang paling tinggi, tahulah kita arti puasa
yang dapat membebaslan kita dari budak kebiasaan itu, yang juga sebagai latihan
dalam menghadapi kemauan dan arti kebebasan kita sendiri. Di samping itu kita
pun sudah diingatkan, bahwa apa yang telah ditentukan manusia terhadap dirinya
sendiri – dengan kehendak Tuhan – mengenai batas-batas rohani dan mentalnya sehubungan
dengan kebebasan yang dimilikinya untuk melepaskan diri dari beberapa kebiasaan
dan nafsunya, ialah cara yang paling baik untuk mencapai martabat iman yang
paling tinggi itu. Apabila taklid dalam iman belum dapat disebut iman,
melainkan baru Islam yang tanpa iman, maka taklid dalam puasa juga belum dapat
disebut puasa. Oleh karena itu orang yang bertaklid menganggap puasanya suatu
kekangan dan membatasi kebebasannya – sebaliknya daripada dapat memahami arti pembebasan
dari belenggu kebiasaan serta konsumsi rohani dan mental yang sangat besar itu.
Demikian
tentang puasa, yang ditulis dalam Buku Sejarah Muhammad karangan Muhammad
Husain Haekal pada cetakan ke-32 tahun 1999.
Ditulis Oleh Iman Nurahman
Selasa 12 Maret 2024 13:55
Komentar
Posting Komentar